Pengusaha Tidak Mungkin Mengganti Buruh dengan Mesin

0

Sherr Rinn

Ancaman pengusaha yang akan mengganti tenaga buruh dengan mesin tidak mungkin dilakukan. Jika pengusaha tetap ngotot menjalankan aksinya, maka akibatnya adalah krisis ekonomi.

Penggantian tenaga manusia dengan mesin-mesin dalam logika pengusaha tidak bisa dilakukan dalam waktu yang cepat, harus secara bertahap karena ada proses produksi dan pembelian mesin-mesin baru serta pemecatan buruh-buruh.

Jika banyak buruh yang dipecat, maka pengangguran meningkat, jumlah buruh menurun dan akhirnya daya beli buruh juga menurun. Padahal, produksi berteknologi tingggi pasti akan memproduksi barang dan jasa yang melimpah. Lalu, jika tidak ada buruh, siapa yang akan membeli barang dan jasa berlimpah yang diproduksi oleh pengusaha itu?

Bisa saja pengusaha mengatakan bahwa bukan buruh yang membeli barang dan jasa tertentu yang diproduksi oleh pabriknya, tetapi kelas menengah dan kelas atas. Namun, kelas menengah maupun kelas atas itu memperoleh uang dari usaha-usaha bisnis yang menyerap uang masyarakat  (termasuk buruh) di pasar, termasuk dalam pembelian barang-barang kelas bawah.

Penurunan daya beli akan berdampak terjadinya krisis over produksi (excess supply) yang akan ditanggung oleh pengusaha itu sendiri. Jumlah barang yang beredar di pasar terlalu banyak, tidak sebanding dengan jumlah uang yang dipegang masyarakat, merupakan pemicu krisis fatal yang akan membuat perusahaan-perusahaan berguguran. Biasanya, perusahaan yang duluan jatuh adalah yang modalnya lebih kecil. Krisis ekonomi di dalam sistem ekonomi kita sekarang ini, sifatnya periodik, pasti terjadi, kambuhan. Kalau rencana Ketua Apindo, Sofyan Wanandi itu, dilaksanakan, maka pengusaha yang akan mengalami kebangkrutan massal.

Sebenarnya, peningkatan mesin-mesin itu tidak menyebabkan pengangguran dan penurunan daya beli, karena mesin-mesin dapat meningkatkan kualitas barang dengan jumlah yang banyak (melimpah). Jika banyak barang diproduksi, harga-harga barang bisa murah, terjangkau oleh buruh. Buruh bisa mengurangi jam kerjanya, bahkan buruh tidak perlu mengambil lembur. Jam kerja yang ditinggalkan, bisa diambil oleh orang lain. Lalu, pengusaha dapat mempekerjakan buruh-buruh baru untuk menjaga mesin-mesin agar tetap hidup selama 24 jam. Dengan demikian, tidak benar peningkatan mesin atau teknologi akan menyebabkan pengangguran. Jumlah barang banyak dengan harga murah dan berkualitas, dan jumlah buruh meningkat sehingga meningkatkan daya beli. Pengusaha semakin diuntungkan, karena barangnya laku.

Jadi, jelas sekali, bahwa penyebab krisis bukan mesin-mesinnya (teknologi), tetapi penyingkiran buruh-buruh sebagai tenaga kerjanya. Tehnologisasi alat-alat produksi tidak boleh menyingkirkan buruh, karena bisa krisis. Lebih baik  tehnologisasi dan mengurangi jam kerja, agar pabrik menyerap banyak buruh.

Sayangnya, banyak pengusaha yang pikirannya sempit atau tidak mengerti sistem ekonomi yang sedang dilakoninya sendiri.

Pengusaha sendiri yang akan rugi jika tidak berinvestasi di Indonesia dengan banyaknya sumber daya alam dan 230 juta penduduknya.

***
Foto: Demo buruh (arsip penulis)

Sebelumnya dimuat di Jurnal Aneka Industri, dimuat kembali di sini demi tujuan pencerahan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *