Perhitungan Upah Buruh Harian Lepas

0
Foto ilustrasi. Sumber: stevepb/pixabay.com.

Di dunia kerja, salah satu bentuk status kerja adalah pekerjaan harian dengan upah harian. Hal ini lazim dipraktikkan dalam pekerjaan konstruksi (bangunan). Pekerja/buruh konstruksi sesungguhnya melakukan kerja fisik yang berat dan berbahaya. Tidak saja berhubungan dengan material bangunan yang berdebu dan berbahan kimia, pekerja konstruksi juga rentan mengalami kecelakaan kerja. Oleh karena itu, selain kesehatan dan keamanan kerja yang perlu diperhatikan, upah buruh konstruksi juga harus dilindungi, minimal sesuai dengan ketentuan ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia.

Bentuk kerja harian juga dipraktikkan di perusahaan-perusahaan manufaktur. Seringkali dengan alasan volume pekerjaan yang berubah. Sebagian sudah sesuai aturan ketenagakerjaan, sebagian lagi melakukan pelanggaran hanya karena ingin pekerja yang lebih fleksibel.

Hak-hak pekerja harian diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Pekerjaan harian adalah salah satu bentuk dari perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang disebut sebagai perjanjian kerja harian lepas. Syarat pelaksanaan PKWT diatur dalam Pasal 59 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo. Kepmenakertrans No. 100/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

Secara khusus, perjanjian kerja harian lepas diatur dalam Pasal 10, 11 dan 12 Kepmenakertrans No. 100/2004. Dalam Pasal 10 diatur mengenai volume pekerjaan dan hari kerja, serta konsekuensi jika pekerja harian dipekerjakan lebih dari 21 hari selama tiga bulan berturut-turut atau lebih, maka perjanjian kerja menjadi PKWTT (karyawan tetap.

Selengkapnya bunyi Pasal 10 Kepmenakertrans No. 100/2004 adalah sebagai berikut:

(1) Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat dilakukan dengan perjanjian kerja harian lepas.
(2) Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 (dua puluh satu) hari dalam 1 (satu) bulan.
(3) Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi PKWTT.

Dari ketentuan di atas, dapat kita simpulkan bahwa pekerja harian lepas hanya dapat bekerja maksimal 21 hari dalam satu bulan, sehingga hal ini menjadi dasar perhitungan upah bagi pekerja harian lepas. Perhitungan upah bagi pekerja harian lepas adalah besar upah minimum (UMK/UMSK) dibagi 21 hari kerja.

Contoh:

UMSK sebesar Rp4.800.000, maka perhitungan upah pekerja harian adalah:

(4.800.000 : 21) = Rp228.571,429, sebaiknya dibulatkan menjadi Rp228.600, sehingga tidak sampai jatuh di bawah ketentuan upah minimum.

Selain itu, pekerja juga berhak untuk mendapatkan tunjangan makan dan transportasi, serta didaftarkan ke BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, sebagaimana karyawan tetap lainnya. Sebabnya, pekerja tidak boleh diperlakukan secara diskriminatif dan memang tunjangan makan, transportasi dan BPJS adalah hak pekerja.

Apa konsekuensi jika buruh harian lepas dibayar kurang dari ketentuan ini? Maka, berarti pekerja telah dibayar di bawah ketentuan upah minimum, yang menyalahi ketentuan Pasal 90 ayat (1) UU No. 13/2003, yakni: “Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89.”

Pelanggaran ketentuan ini dapat dikenakan sanksi pidana penjara satu sampai empat tahun dan/atau denda Rp100 juta sampai Rp400 juta, sesuai Pasal 185 UU No. 13/2003, yang berbunyi:

“Pasal 185 (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143, dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).”

Jika terjadi pelanggaran, maka pekerja yang bersangkutan dapat melaporkan permasalahan ini ke Desk Ketenagakerjaan Kepolisian dan/atau Pengawas Ketenagakerjaan. Pelaporan sebaiknya dilakukan secara kolektif dengan didampingi serikat pekerja dan/atau pengacara publik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *