
Solidaritas.net – Sekitar 120 orang pekerja konstruksi di proyek infrastruktur PLTU Sumsel 1, di Kabupaten Muara Enim, Sumatra Selatan, melakukan mogok kerja pada Senin (9/3/2020) sejak pagi tadi. Pemogokan itu disinyalir akibat kondisi kerja yang buruk, upah di bawah UMK Muara Enim, lembur tidak dibayar, tidak ada hari libur, BPJS tidak terdaftar, dan diskriminasi serta pemecatan secara sepihak.
Baca: Ratusan Buruh PT. AFI Mogok Selama 30 Hari
Melansir buruh.co, Ketua Serikat Pekerja PT Guangdong Engineering Power Co. Ltd Tajudin menyatakan dengan tegas keputusan untuk mogok tersebut sebagai jalan baru yang harus ditempuh. “Negosiasi hanya pemanis bibir, kami sudah lelah ditindas!,” tegas Tajudin.
Berdasarkan hasil penelitian Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) pada 2019 lalu, menemukan buruh PLTU harus bekerja dalam jangka 12 jam sehari pada tahap konstruksi di PLTU lainnya di Muara Enim, juga kondisi kesejahteraan yang rendah kendati telah lebih 5 tahun bekerja di PLTU lainnya di Muara Enim.
Koordinator Perkumpulan AEER, Pius Ginting mengatakan pihaknya mendukung perjuangan mogok buruh PLTU Sumsel 1 2×1300 MW yang telah dipersiapkan secara ketentuan, bahkan telah mendapatkan dukungan kepala desa di sekitar.
Baca: Ikut Mogok Kerja, Perempuan Pekerja Es Krim Aice Ini Dikenai PHK
“Pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten memperhatikan kelangsungan kehidupan buruh PLTU karena jumlah buruh yang direkrut saat operasi hanya 3 persen dari jumlah buruh masa konstruksi yang berlangsung 2-3 tahun,” ujar Pius, mengutip rmol.id (9/3/2020).
Dalam seminggu terakhir, sedikitnya ada lima Kepala Desa Ring-1 dari lokasi PLTU mendukung mogok kerja buru. Lima desa tersebut, diketahui merupakan warga di lokasi terdampak pembangunan PLTU.
“Pada Februari 2020, masyarakat desa Tanjung Menang juga melakukan aksi. Tuntutannya, agar perusahaan memperhatikan kondisi desa mereka yang terdampak,” tutur Donsi, Kepala Desa Tanjung Menang, Banyuasin III, Kabupaten Banyuasin, Sumatra Selatan, yang juga terdampak.