Solidaritas.net, Blitar – Sebanyak 36 rumah petani di Desa Soso, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar, dibakar orang tak dikenal pada Senin (23/11/2015) yang lalu. Diduga pembakaran rumah petani ini adalah buntut dari sengketa lahan dengan pihak perkebunan PT Kismo Handayani.
“Saat ini, yang dibakar baru 36 rumah, namun tak menutup kemungkinan, mereka akan membakarnya semua. Itu tinggal menunggu giliran,” papar Andre dikutip dari Tribunnews.com.
Pembakaran tersebut mengakibatkan 36 kepala keluarga (KK) yang berprofesi sebagai petani itu tidak memiliki tempat tinggal. Rumah mereka ludes dan rata dengan tanah akibat terbakar api. Kini, mereka terpaksa mendirikan tenda sebagai tempat tinggal sementara.
Kesal karena Pemerintah Kabupaten (Pemkab) tak kunjung mempedulikan nasib para petani di perkebunan Soso yang sering mendapat intimidasi dari pihak perkebunan, para petani itu dengan didampingi anggota LSM KRPK (Komite Rakyat Pemberantasan Korupsi) menggelar aksi di Pemkab Blitar, Selasa (1/12/2015). Mereka menuntut agar bupati Blitar, Hery Nugroho segera mempedulikan nasib petani.
Dalam aksinya, puluhan massa aksi membawa replika rumah petani yang dibakar dan gubuk-gubukkan yang merupakan simbol kalau dirinya kini tinggal di gubuk atau tenda dari terpal. Massa juga membentangkan spanduk bertuliskan, “Pak bupati, rumah saya sudah dibakar dan kami tak punya tempat tinggal dan kini kami tinggal di mana, prilakumu kok koyok preman.”.
Sebanyak 10 orang yang membakar rumah warga, diduga kesepuluhnya adalah orang-orang suruhan pihak perkebunan. Mereka mengedor-gedor pintu rumah warga, menyuruh warga mengeluarkan perabotan rumahnya karena rumahnya akan dibakar. Meski jumlahnya hanya 10 orang, namun warga tak berani melawan. Lebih-lebih, mereka membawa peralatan lengkap seperti linggis, parang dan palu besar. Bahkan, mereka juga membawa alat berat seperti buldozer.
Masalah antara petani dengan pihak Perkebunan PT Kismo Handayani itu muncul karena petani mendiami lahan eks Perkebunan PT Kismo Handayani setelah Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan mati sejak 21 Desember 2010 lalu. Mengetahui HGU lahan tersebut mati dan tak bisa diperpanjang, warga yang menggarap lahan itu mengajukan tanah redis. Namun, sampai kini belum terealisasi permintaan redis itu, meski Pemkab Blitar sudah memberikan lampu hijau.