Palembang – Kasus pemberangusan serikat buruh memang masih banyak terjadi di Indonesia. Baru-baru ini, hal tersebut dialami oleh empat petugas satuan pengamanan (satpam) dari PT Westpoint Security Indonesia (WSI). Mereka harus menerima pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak oleh manajemen peruahaan, pada Senin (06/06/2016) lalu. Pemecatan tersebut diduga karena mereka berencana akan mendirikan serikat pekerja.
Satpam yang di-PHK karena ingin dirikan serikat pekerja. |
Sebelumnya, para satpam itu sempat bergabung dengan Serikat Pekerja Transportasi untuk Kalangan Sendiri (TUKS) PT Kaliguma Trasindo, salah satu sub kontraktor PT Tanjungenim Lestari Pulp and Paper yang bergerak di bidang pengapalan atau pengelolaan pelabuhan. Sejak tanggal 30 November 2015 lalu, sebagai Badan Usaha Jasa Pengamanan (BUJP), PT WSI menugaskan sebanyak 13 pekerjanya di perusahaan tersebut untuk mengamankan area pelabuhan. Namun, menurut Ketua Serikat TUKS PT Kaliguma Indonesia, Ahmad Hafiz, pihak perusahaan berusaha menghalang-halangi dengan berbagai cara. Bahkan, PT WSI sempat mengeluarkan edaran dari Kepolisian RI tentang larangan berserikat bagi satpam.
“Jelas bahwa PT WSI telah melanggar hak-hak pekerja sekuriti untuk berserikat, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Tanggal 6 Juni 2016, perusahaan memecat secara sepihak tanpa alasan yang jelas. Kami yakin pemecatan ini berkaitan erat dengan aktivitasnya dalam berserikat,” ungkap Ahmad dalam siaran persnya, Rabu (15/06/2016).
Persoalan kebebasan berserikat bagi para satpam memang menjadi perhatian banyak aktivis buruh sejak beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2013 lalu, Kapolri mengeluarkan surat edaran yang meminta Kepala Kepolisian Daerah di seluruh Indonesia agar melarang satpam untuk membentuk serikat pekerja. Surat edaran itu dimanfatakan perusahaan outsourcing yang mengelola satpam untuk memaksa mereka tak boleh berserikat seperti pekerja lain.
Ditambah lagi oleh Ahmad, PT WSI cukup banyak melakukan pelanggaran ketenagakerjaan sejak beroperasi di pelabuhan. Mulai dari upah masih di bawah upah minimum, kelebihan jam kerja tidak diperhitungkan sebagai lembur, pekerja yang tidak dikutsertakan sebagai peserta BPJS, seragam yang tidak sesuai ketentuan, hingga soal kontrak kerja. Kasus ini pun sudah dilaporkan kepada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Bandar Lampung.