8 Jam Kerja Lahir dari Demo Buruh

0

Solidaritas.net – Jam kerja adalah waktu untuk melakukan pekerjaan, dapat dilaksanakan siang hari dan/atau malam hari. Jam kerja bagi para pekerja di sektor swasta diatur dalam Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya pasal 77 sampai dengan pasal 85.

Spanduk tuntutan 8 jam kerja di Melbourne, 1856.
Foto: Wikipedia.org.

Pasal 77 ayat 1, UU No.13/2003 mewajibkan setiap pengusaha untuk melaksanakan ketentuan jam kerja. Ketentuan jam kerja ini telah diatur dalam 2 sistem, yaitu 7 jam kerja dalam 1 hari atau 40 jam kerja dalam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam 1  minggu dan 8 jam kerja dalam 1 hari atau 40 jam kerja dalam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu.

Kedua sistem jam kerja tersebut juga diberikan batasan jam kerja yaitu 40 (empat puluh) jam dalam 1 (satu) minggu. Apabila melebihi dari ketentuan waktu kerja tersebut, maka waktu kerja biasa dianggap masuk sebagai waktu kerja lembur sehingga pekerja/buruh berhak atas upah lembur. Jam kerja maksimal termasuk lembur diatur 48 jam per minggu.

Hampir di seluruh perusahaan menetapkan peraturan tersebut, namun banyak yang belum mengetahui sejarah panjang penetapan peraturan 8 jam kerja. Perjuangan menuntut pengurangan jam kerja menjadi 8 jam sehari ini diawali oleh kaum buruh seperti yang dijelaskan di video berikut ini: https://www.youtube.com/watch?v=DJRhRuu41w4.

Setelah revolusi industri terjadi, perusahaan menginginkan jumlah produksi terus meningkat sehingga buruh dipaksa bekerja 10 sampai 16 jam perhari. Situasi itu mendorong para buruh untuk melakukan aksi demonstrasi menuntut 8 jam kerja perhari, 8 jam untuk istirahat dan 8 jam untuk rekreasi.

Pada tanggal 1 Mei tahun 1886, puluhan ribu buruh di kota Chicago, Amerika Serikat, menggelar demonstrasi yang dalam waktu beberapa hari berubah menjadi pemogokan umum hingga membuat puluhan ribu pabrik terpaksa tutup.

Pada tanggal 4 Mei 1886, pemerintah merespon dengan membubarkan paksa aksi kaum buruh dengan menembaki para buruh hingga menimbulkan banyak korban buruh yang tewas tertembak. Insiden ini terjadi di Haymarket, Chicago, yang kemudian menimbulkan reaksi protes keras dari kaum buruh di negara-negara lain.

Pada tahun 4 Juli 1989, dalam pertemuan kaum buruh dari seluruh penjuru dunia di Paris, Kongres Internasionale Kedua mengeluarkan resolusi yang berbunyi :

“Sebuah aksi internasional besar harus diorganisir pada satu hari tertentu dimana semua negara dan kota-kota pada waktu yang bersamaan, pada satu hari yang disepakati bersama, semua buruh menuntut agar pemerintah secara legal mengurangi jam kerja menjadi 8 jam per hari, dan melaksanakan semua hasil Kongres Buruh Internasional Perancis.”

Sejak saat itu, 1 Mei diperingati sebagai hari buruh sedunia atau May Day. Meskipun begitu, setelah insiden tersebut, perusahaan mobil Ford mulai menerapkan 8 jam kerja perhari.

Perusahaan lain baru menerapkan peraturan ini setelah mengetahui Ford meraup keuntungan besar. Penerapan sistem 8 jam kerja perhari ternyata berdampak positif bagi Ford, pekerjanya merasa lebih fleksibel dan produktif, sehingga perusahaan memperoleh banyak keuntungan.

Tidak semua negeri menjalankan sistem 8 jam kerja perhari. Di Jepang, banyak perusahaan yang menerapkan budaya jam kerja lebih dari 8 jam perhari. Akibatnya, pekerja di Jepang merasa strees,  tidak produktif  bahkan tidak sempat memiliki keturunan karena sibuk bekerja. Pada tahun 2015, pemerintah Jepang mengeluarkan kebijakan untuk mengakhiri budaya jam kerja panjang.

Jam kerja bukanlah sesuatu yang ajeg, bisa berubah, bahkan semakin berkurang sejalan dengan kemajuan teknologi yang semakin mengarah pada otomatisasi kerja. Tahun lalu, negara Swedia mulai menerapkan kebijakan 6 jam kerja.

Sebagaimana dikutip dari BBC.com, kebijakan ini mulai dijalankan di pusat perawatan lansia Svartadalen di Gothenburg. Hasilnya, pekerja menjadi semakin berenergi dan standar perawatan makin tinggi.

Jam kerja yang pendek terbukti semakin meningkatkan produktivitas kerja. Mereka yang mendukung 6 jam kerja berpendapat jika para pekerja tidak produktif selama dua jam setiap harinya. Oleh karena itu, ketimbang menerapkan 8 jam kerja, kenapa tidak memangkas kerja menjadi 6 jam saja.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *