Omnibus Law Cipta Kerja Memperburuk Nasib Buruh Outsoucing

Ilustrasi gambar/onlinenews07

Solidaritas.net – Pemerintahan Indonesia terus berusaha mengebut untuk membahas Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja. Didalam RUU yang kerap disebut ‘sapu jagat’ itu terdapat banyak sekali hak-hak buruh yang dipangkas, dihapus, dan di hilangkan. Salah satunya terkait nasib buruh outsourscing (alih daya).

Di dalam rancangan regulasi baru yang menjadi ‘kendaraan’ politik untuk memangkas aturan perburuhan ini, tampaknya tidak ada jaminan apapun bagi buruh outsourcing dalam dunia kerja.Nasibnya akan kian terombang ambing dengan regulasi yang hanya mementingkan kepentingan investasi tersebut.

Dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja disebutkan bahwa perlindungan buruh, upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab di perusahaan alih daya. Artinya buruh outsourcing, jika terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan perusahaan, tidak akan menjadi tanggung jawab perusahaan tempat dia bekerja, namun menjadi tanggung jawab pihak outsourcing. Outsourcing merupakan salah satu bentuk perjanjian pekerjaan antar suatu bisnis dengan perusahaan lain.

Baca: Di Tengah Wabah Korona, Buruh Tetap Aksi Dengan Jaga Jarak

Didalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja juga dikatakan bahwa “Hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu”

Ini tentu berbeda dengan pasal mengenai buruh outsourcing yang tertera di UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Buruh outsourcing tidak boleh dipekerjakan untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan produksi.

Misalnya dalam pasal 66 UU Nomor 13 Tahun 2003 Ketenagakerjaan berbunyi: “Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.”

Jika buruh outsourcing malah dipekerjakan di bagian inti produksi (core business), maka hal ini berarti tidak sesuai undang-undang atau melawan hukum, sehingga buruh outsourcing harus diubah hubungan kerjanya dari perusahaan outsourcing ke perusahaan pemberi kerja. Namun, dalam Omnibus Law, hal ini tidak dimungkinkan lagi, karena pembatasan ini dihapuskan.

Walau, belum ada Omnibus Law Cipta Kerja, perlindungan terhadap buruh outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan masih tergolong minimal. Masih banyak kasus-kasus kesewenang-wenangan dan diskriminasi terhadap buruh outsourcing di lingkungan kerja. Mereka masih dipekerjakan tidak sesuai dengan aturan perundang-udangan yang berlaku. UU Ketenagakerjaan juga masih sering dilanggar karena pembiaran yang dilakukan oleh pengawas ketenagakerjaan dengan alasan kekurangan pengawas atau memang kongkalikong dengan pengusaha secara diam-diam.

Salah satu kasus yang paling tenar baru-baru ini, yang juga beredar viral di media sosial adalah terkait kasus buruh/pekerja outsoucing yang terdapat di sebuah perusahaan produksi es krim Aice, PT. Alpen Food Industry. Perusahaan yang menuai kritik karena mempekerjakan buruh perempuan di shift malam ini, juga mempekerjakan buruh outsourcing di bagian produksi.

Padahal, pekerjaan di bagian produksi hanya berlaku bagi buruh dengan status kerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) alias pekerja tetap.

Baca: Alasan Virus Korona, Polisi Bubarkan Mogok Kerja Buruh AICE

“Saya ikut perusahan alih daya dari Mojokerto ke Bekasi, katanya akan dipekerjakan di perusahan dengan kepastian kerja, dan jaminan hidup. Namun, sampai di Bekasi, kami malah seperti di “perdagangkan” perusahaan outsourcing itu,” aku Joker, salah satu buruh outsourcing yang, karena protes terkait kondisi kerjanya, dia bersama dua temannya dikena PHK (pemutusan hubungan kerja) oleh pihak perusahan es krim Aice.

Penyalur kerja atau penyedia outsourcing, justru mengabaikan kesehatan dan keselamatan kerja mereka dan perjanjian kerja yang mereka sepakati sebelumnya dari Mojokerto. Banyak biaya sudah mereka keluarkan demi mendapat kerja, namun yang terjadi justru jauh dari harapan ketiga orang yang berasal dari Mojokerto itu.

Hanya bekerja kurang lebih dua minggu di PT. Alpen Food Industry, ketiganya bersama sejumlah kawan-kawannya yang lain terpaksa pulang dan dikenai PHK sepihak tanpa alasan yang jelas dari perusahan.

Kasus ini, hanyalah salah satu dari sekian banyak kasus diskriminatif terhadap buruh/pekerja outsourcing di sektor industri manufaktur. Bayangkan saja, nasib buruh alih daya ini yang sudah tidak menentu dan tidak punya jaminan jelas dalam UU Ketenagakerjaan, bagaimana jadinya bila nanti Omnibus Law Cipta Kerja disahkan? Pastinya justru lebih memperburuk, tidak saja buruh outsourcing, namun buruh di semua sektor mendapatkan ancaman yang lebih diskriminatif lagi.

Baca: PHK Ratusan Buruh AICE Tidak Sah, Ini Penjelasan Serikat Buruh

Dan, praktek-praktek seperti yang terjadi di perusahan es krim Aice ini justru akan legal dan buruh-buruh sulit mengadvokasi kasusnya sendiri karena berhadapan dengan regulasi yang melegalisasi outsourcing.

Ancaman-ancaman berupa teror, intimidasi, pembubaran mogok, pemberangusan serikat, pemberian sanksi, akan menjadi lebih mudah dilakukan pengusaha untuk meredam perselisihan yang diajukan buruh, karena buruh semakin tidak dilindungi oleh undang-undang.

2 tanggapan pada “Omnibus Law Cipta Kerja Memperburuk Nasib Buruh Outsoucing”

  1. Pingback: Di Balik Aksi Pembakaran PT. IWIP Saat Peringati May Day 2020 - Solidaritas.net

  2. Pingback: Peringati Hari Buruh di Tengah Pandemi, Buruh Bentangkan Tuntutan di Depan Pabrik - Solidaritas.net

Tinggalkan Balasan