Solidaritas.net, Jakarta – Menanggapi Peraturan Gubernur Nomor 228 Tahun 2015 tentang pengendalian pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum pada ruang terbuka, Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) mengirimkan petisi kepada Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Dalam petisi tersebut, KPRI mengkritisi rezim Ahok yang dinilai hendak membungkam kebebasan berpendapat rakyat atas nama ketertiban dan ketentraman yang juga pernah berlaku semasa rezim pemerintahan Soeharto.
Menurut KPRI, pembatasan ruang penyampaian pendapat di muka umum termasuk ruang untuk berdemonstarasi, melakukan aksi unjuk rasa, dan melakukan mimbar bebas, merupakan bentuk nyata dari pengekangan dan pembungkaman suara rakyat. Lewat Pergub tersebut rakyat yang melakukan aksi demonstrasi akan diingatkan termasuk dengan cara kekerasan.
KPRI menganggap Pergub tersebut bertentangan dengan Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 yang menjamin kebebasan berpendapat setiap warga negara tanpa syarat apapun. Berdasarkan hal itu, KPRI menyerukan perlawanan. Bagi KPRI, petisi online yang dibuatnya adalah langkah awal dan sederhana untuk memulai perlawanan terhadap kecenderungan pemunduran demokrasi yang terjadi dalam rezim kekuasaan Gubernur Ahok.
Sementara itu, dalam menanggapi hal ini Ahok mengaku tidak mempermasalahkan jika dikirimkan petisi. Menurut Ahok, jika memang ada sekumpulan yang tidak suka dengan aturan Gubernur maka mereka berhak menggugat dan membawa ke Mahkamah Agung (MA).
“Terserah dia lah, kalau tidak suka ya gugat, enggak apa-apa, kalau tolak ya gugat saja. Kita negara hukum ada aturannya. Kalau enggak suka aturan Gubernur bawa ke MA, kalau enggak suka UU bawa ke Mahkamah Konstitusi,” katanya dilansir dari sindonews.com.
Diketahui Pergub 228 Tahun 2015 memberi batasan secara ketat terhadap lokasi dan waktu pelaksanaan aksi penyampaian pendapat di muka umum di Jakarta, yakni hanya di Parkir Timur Senayan, alun-alun Demokrasi DPR/MPR RI, dan Silang Selatan Monumen Nasional pada pukul 06.00–18.00 WIB.