Akibat Perubahan Iklim, Produktivitas Pekerja Indonesia Terancam Menurun

0
pekerja rokok
Ilustrasi: Pekerja. (Dok. Gudang Garam).

Solidaritas.net, Jakarta – Berdasarkan laporan Verisk Maplecroft sebuah firma konsultasi risiko bisnis berbasis di Inggris, perubahan iklim berpotensi memangkas produktivitas pekerja di banyak negeri hingga mencapai 25 persen dalam 30 tahun ke depan, salah satunya yaitu Indonesia. Untuk Indonesia diperkirakan akan terjadi penurunan produktivitas pekerja sebesar 21 persen.

Indonesia berada pada urutan ketiga setelah Malaysia dan Singapura. Sebesar 25 persen penurunan produktivitas pekerja Singapura dan sebesar 24 persen penurunan produktivtas pekerja Malaysia.

Tidak hanya pada negeri tersebut, pemanasan global juga menjadi ancaman untuk ekonomi negeri maju. Seperti, Australia, Amerika Serikat, Italia, dan Hong Kong. Namun, mereka dinilai lebih siap untuk menghadapinya. Negeri-negeri ini, secara teori, lebih elastis terhadap penurunan produktivitas pekerja yang berpotensi memberikan dampak ekonomi signifikan.

Disebutkan perubahan iklim berakibat pada peningkatan tekanan suhu pana (heat stress) sehingga berpotensi memangkas produktivitas karena akan turut berperan dalam meningkatkan jumlah hari berbahaya untuk melakukan pekerjaan fisik. Heat stress terjadi ketika wet bulb globe temperature atau alat ukur paparan panas sudah mencapai level di atas 25 derajat celcius.

“Penaikan suhu global secara bertahap akibat perubahan iklim bisa mengakibatkan peningkatan tekanan suhu panas (heat stress) melebihi batas wajar. Ini bisa mendorong pekerja lebih banyak absen lantaran sakit, kelelahan, bahkan ekstremnya kematian pekerja,” demikian isi laporan Verisk, Rabu (28/10/2015), dilansir dari merdeka.com.

Sementara itu, berdasarkan laporan panel antar pemerintah terkait perubahan iklim (IPCC) 2014, peningkatan suhu permukaan bumi dalam tiga dekade terakhir lebih cepat ketimbang dekade sebelumnya sejak 1850. Diperkirakan, pada abad ini, gelombang panas tersebut bakal lebih sering terjadi dan antara 2016-2035, suhu permukaan bumi bakal menghangat 0,3-0,7 derajat celcius.

Sedangkan negeri di Asia Tenggara dinilai kesulitan dalam mengantisipasi dampak pemanasan global tersebut. Padahal, kawasan ini diharapkan bisa menjadi penopang pertumbuhan ekonomi global di masa mendatang.

“Banyak negeri di regional ini memiliki keterbatasan kemampuan teknis dan finansial untuk memitigasi risiko perubahan iklim. Ini bisa menghalangi aliran investasi, mengingat menguatnya pemahaman bahwa iklim erat kaitannya dengan risiko finansial,” katanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *