Apakah PHK Bisa Ditolak?

0
Foto ilustrasi: buruh menolak PHK terhadap buruh PT Fajar Mitra Indah “FamilyMart”

Pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah momok yang menakutkan bagi kebanyakan pekerja. Banyak pekerja yang tidak siap kehilangan pekerjaan karena artinya sama saja kehilangan penghasilan. Memang dalam banyak kasus dikenai PHK berarti mendapatkan pesangon, namun bagaimana jika pesangon tidak sesuai harapan atau pekerja menganggap tetap bekerja lebih baik daripada mendapatkan pesangon.

Karenanya seringkali muncul pertanyaan apakah PHK bisa ditolak? Kalau bisa, lantas bagaimana caranya menolak PHK.

Pertama-tama perlu dipahami terlebih dahulu apa itu hubungan kerja.  Pasal 1 Angka 15 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) mengartikan hubungan kerja sebagai hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.

Hubungan kerja dibuat berdasarkan perjanjian kerja sebagaimana disebut dalam Pasal 50 UU Ketenagakerjaan yakni “hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh”. Perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis maupun secara lisan (Pasal 51 UU Ketenagakerjaan) dan dalam bentuk perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) (Pasal 56 UU Ketenagakerjaan).

Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja dengan sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan berakhirnya juga hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.

Dalam PKWT, hubungan kerja berakhir ketika berakhirnya kontrak kerja sebagaimana yang diperjanjikan dalam perjanjian kerja. Misalnya Budi bekerja di perusahaan PT. Bangun Karya dengan hubungan kerja PKWT selama satu tahun dari tanggal 1 Januari 2019 sampai 31 Desember 2019. Ketika sampai pada 31 Desember 2019, maka hubungan kerja antara Budi dan perusahaan secara otomatis berakhir. Hubungan kerja ini berakhir karena perjanjian.

Dalam PKWTT, hubungan kerja berlangsung tidak mengenal waktu tertentu, kecuali sampai batas waktu pensiun yakni 55 tahun, sehingga buruh atau pun pengusaha tidak dapat begitu saja mengakhiri hubungan kerja.

Pasal 151 UU Ketenagakerjaan, mengatur dua cara pengakhiran hubungan kerja, yakni:

1. Berdasarkan perundingan untuk menghasilkan persetujuan

Hubungan kerja didasarkan pada perjanjian kerja, sehingga untuk mengakhirinya, maka perlu ada perubahan perjanjian kerja tersebut untuk diakhiri. Perundingan di antara pihak pekerja dengan pihak pengusaha dilakukan dengan iktikad baik untuk mencapai kesepakatan. Biasanya perundingan ini dilakukan untuk menemui titik kesepakatan mengenai kompensasi atau pesangon yang diterima oleh pekerja agar bersedia menerima PHK. Baca juga perhitungan pesangon di sini.

2. Penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial

Seringkali perundingan tidak mencapai kesepakatan, sehingga salah satu pihak dapat mendaftarkan perselisihan PHK ke instansi ketenagakerjaan setempat yakni Dinas Tenaga Kerja (Disnaker). Pada umumnya, perselisihan PHK menempuh jalan mediasi yang difasilitasi oleh mediator dari Disnaker. Hasil dari mediasi adalah Anjuran yang tidak mengikat kedua belah pihak. Anjuran dapat diterima dan dapat pula ditolak, untuk selanjutnya mengajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial (PHI). Tata cara perselisihan hubungan industrial diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Pasal 154 UU Ketenagakerjaan mengatur pengecualian dibutuhkannya penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan industrial, yakni:

  • Pekerja/buruh yang tidak lolos masa percobaan;
  • Pekerja/buruh mengajukan pengunduran diri secara sukarela;
  • Pekerja/buruh encapai usia pensiun sesuai perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama atau peraturan perundang-undangan;
  • Pekerja meninggal dunia.

Menolak PHK

Setelah memahami ketentuan di atas, maka apabila pekerja/buruh ingin menolak PHK, yang harus dilakukan adalah, pertama, tidak menyepakati PHK dengan mengirimkan surat penolakan PHK secara tertulis yang disertai dengan alasan-alasan yang jelas dan sesuai hukum.

Kedua, jika pengusaha tetap melakukan PHK, maka mau tidak mau, buruh harus menempuh jalur perselisihan hubungan industrial dari perundingan bipartit, mediasi (perundingan tripartit) sampai dengan PHI. Yang perlu disiapkan adalah kronologi dan pendapat hukum untuk menjadi pertimbangan mediator. Kronologi dan pendapat hukum ini yang dapat dikembangkan menjadi gugatan atau jawaban gugatan saat di PHI.

Ketiga, melayangkan gugatan di PHI atau dapat menjadi tergugat di PHI apabila pengusaha mengajukan gugatan terlebih dahulu. Dalam berperkara di PHI, buruh tidak selalu membutuhkan pengacara. Yang dibutuhkan adalah kemampuan menyiapkan dokumen-dokumen hukum seperti gugatan atau jawaban gugatan, replik atau duplik, pembuktian berupa bukti-bukti dan kesaksian, serta kesimpulan. Pengurus serikat pekerja juga dapat mewakili buruh dalam beracara di PHI.

Hasil dari proses di PHI adalah putusan pengadilan, yang dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung dalam waktu 14 hari oleh salah satu pihak yang keberatan. Jika tidak ada kasasi dalam waktu 14 hari, maka putusan bersifat final dan mengikat yang harus dijalankan oleh kedua belah pihak.

Dalam proses ini, unjuk rasa atau demonstrasi tidaklah dilarang oleh hukum asalkan sesuai dengan ketentuan dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.**

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *