APINDO Tolak Bayar Pesangon di Usia Pensiun

0

Desakan revisi UU Ketenagakerjaan datang dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) yang terungkap dalam seminar bertajuk “PHK Gak Pakai Gejolak” di Jakarta pada tanggal 27 April 2016. Aditya Warman sebagai Wakil Sekretaris Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) juga mengatakan bahwa mereka akan segera menyelesaikan permasalahan ini dengan menyusun usulan resmi terkait revisi kebijakan ketenagakerjaan ini. Menurutnya rencana ini sudah diupayakan sejak tahun 2010.

Foto ilustrasi.
Sumber: Alan D Cirker / Wikipedia.org

Pengusahan berdalih revisi perlu dilakukan karena banyak PHK yang terjadi seperti yang terjadi di perusahaan tekstil, sepatu, bahkan manufaktur. Menurut versi APINDO, pengusaha banyak yang lari dan lebih memilih berinvestasi ke negara tetangga karena upah yang lebih rendah dan produktivitas yang tinggi.

Pihak pengusaha menilai UU Ketenagakerjaan terlalu kaku, sehingga ada 12 pasal yang mesti direvisi antara lain yang menyangkut masalah pesangon, outsourcing, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), perselisihan hubungan industrial, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), putusan sela, serta jaminan sosial.

Pada tahun 2016 lalu, APINDO menggugat pasal pasal 167 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang mengatur tentang pembayaran uang pensiun dan uang pesangon. Adanya kemungkinan pemutusan hubungan kerja (PHK) saat memasuki usia pensiun dinilai akan memberatkan pengusaha jika harus membayarkan pesangon. Sebab, pekerja telah mendapatkan jaminan pensiun dari BPJS Ketenagakerjaan. Pengusaha juga keberatan karena diharuskan membayar uang penghargaan masa kerja.

Meskipun pada Maret 2016, gugatan ini telah dicabut, namun APINDO menempuh jalur lain, yakni revisi. APINDO menargetkan revisi UU Ketenagakerjaan saat ini sudah Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019.

“Revisi ini harus mempunyai perubahan terhadap investasi, kesejahteraan pekerja, dan berdampak pada harmonisasi serta produktivitas kerja,” kata Aditya, dilansir dari Bisnis.com. 

Pada 11 Oktober 2016, Menaker Hanif Dhakiri mengatakan bahwa adanya usulan dari berbagai kalangan ketenagakerjaan untuk segera merevisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, agar dapat segera menyelesaikan permasalahan tentang ketenagakerjaan di Indonesia. Seperti  dilansir dari Liputan6.com, Hanif  menjelaskan sejumlah kalangan perusahaan menilai Undang-Undang ini masih memiliki permasalahan terkait ketenagakerjaan.

Namun, penyusunan usulan tersebut belum diketahui waktu penyelesaiannya. Kemnaker berharap bahwa masalah ini masuk ke dalam draf revisi dan dapat masuk ke dalam pembahasan Prolegnas 2018.

Pihak buruh patut mewaspadai revisi UU Ketenagakerjaan ini karena nasib buruh dapat menjadi lebih buruk jika UU Ketenagakerjaan yang dinilai kaku oleh kelompok pengusaha, akan dibuat lebih fleksibel. UU Ketenagakerjaan selama ini justru sudah lebih banyak menguntungkan pengusaha karena bersifat multi-tafsir dan lemahnya pengawasan. Pelaksanaan hukum ketenagakerjaan tidak menekankan pada pengawasan sehingga seringkali pengusaha lebih “bebas” menafsirkan UU tersebut dengan intepretasi yang menguntungkan mereka. Di saat yang sama, fungsi pengawasan Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) masih lemah.

Jika buruh melakukan demo, hal itu karena demo dianggap sebagai satu-satunya jalan keluar saat berhadapan dengan kekuatan modal dan pengaruh yang dimiliki pengusaha. Jika hak demo dan mogok dikebiri, dengan apa lagi buruh berjuang, sedangkan negara selalu lebih condong memihak pada mereka yang memiliki uang. (**)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *