ARMP Tolak Penggusuran Berdalih Keistimewaan Yogyakarta

0

Yogyakarta – Masyarakat pesisir pantai Parangkusumo dan Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran (ARMP) mengadakan panggung rakyat untuk mengkampanyekan penolakan mereka terhadap penggusuran, Senin (1/8/2016).

 Panggung rakyat tolak penggusuran (Foto: Gevan)

Sekitar pukul 09.00 WIB acara dimulai, diawali dengan aksi budaya membawa sesajian atau labuhan dipantai Selatan Parangkusumo. Aksi budaya ini sebagai bentuk kekecewaan terhadap pemerintahan Indonesia yang telah gagal mensejahterakan rakyat.

ARMP menilai, penerapan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta telah menyebabkan praktik perampasan tanah. Dimana tanah Kasultanan diartikan sebagai tanah milik Kasultanan yang lazim disebut Sultan Ground (SG) dan tanah Kadipaten adalah tanah milik Kadipaten Puro Paku Alaman yang lazim disebut Paku Alaman Ground (PAG).

Sejak UU Nomor 13 tahun 2012 disahkan, telah terjadi perubahan yang mendasar dalam penguasaan tanah diseluruh DIY. Melalui UU tersebut, kasultanan dan Paku Alaman menjadi badan hukum khusus sehingga dapat memiliki tanah. Penetapan kesultanan dan Paku Alaman sebagai pemilik tanah itu dilakukan dengan cara menghidupkan kembali rijksblad (peraturan kerajaan/Kadipaten Pakualaman) nomor 16 dan 18 tahun 1918 yang berbunyi:

“Semua tanah yang tidak mempunyai bukti kepemilikan menurut eigendom ( hak milik barat, menurut UU Agraria 1870 ) maka itu adalah milik kerajaanku.”

Padahal pasca kemerdekaan, Kedua Rijksblad itu sudah dihapus oleh Sri Sultan HB IX bersama DPRD melalui Perda DIY No 3 Tahun 1984 sebagai pelaksanaan Keputusan Presiden No 33 Tahun 1984 dan Diktum IV UU No 5 Tahun 1960 (UUPA).

Aturan tersebut juga bertentangan dengan UUPA Nomor 5 Tahun 1960 huruf A yang berbunyi:

“Hak-hak dan wewenang atas bumi dan air dari swapraja atau bekas swapraja yang masih ada pada waktu mulai berlakunya undang-undang ini dihapus dan beralih ke negara, dan kemudian akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (PP).”

Dampak langsung diberlakukannya UUK tersebut adalah terjadi peningkatan konstalasi perampasan tanah di DIY, lebih dari  10 titik sasaran perampasan tanah dengan beragam alasan yang dilakukan atas dasar UUK. Dari 10 lebih titik penggusuran salah satunya adalah kawasan Parangkusumo yang dihuni sekitar 5000 penduduk sepanjang bantaran sungai dan pesisir pantai.

Sejak tahun 2007 pemerintah daerah kabupaten Bantul yang berkonspirasi dengan Kesultanan sudah melakukan upaya penggusuran di Parangkusumo. Hasil konspirasi itu juga melahirkan peraturan daerah Kabupaten Bantul yaitu Perda No 5 Thn 2007 tentang larangan pelacuran, dan berbagai cara lainnya dilakukan untuk mengusir warga dari tanah yang sudah ditempati berpuluh-puluh tahun.

Cara lain yang dipakai saat ini adalah restorasi gumuk pasir atau sand dunes, sebagai upaya baru  memuluskan  penggusuran di Parangkusumo. Penggusuran itu bertujuan untuk membangun tempat pariwisata Bali dua di daerah Parangtritis.

Dalam aksinya, ARMP menuntut pelaksanaan UU Pokok Agraria di Yogyakarta, penghapusan SG dan PAG yang tidak sesuai dengan Kepres No. 33 Tahun 1984 dan Perda DIY No. 3 Tahun 1984, tanah untuk rakyat, penolakan tata ruang yang tidak pro rakyat, serta menolak segala bentuk penggusuran maupun perampasan tanah termasuk dengan alasan keistimewaan Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *