Arti Bumi Manusia bagi Seorang Buruh Seperti Aku

0

Oleh: Eko Ari Wibowo

Aku pertama kali membaca buku Bumi Manusia pada tahun 2012, dipinjami dari pengajar Ekonomi-Politik, Danial Indrakusuma. Aku sebenarnya malas membaca buku, tapi aku memaksakan diri. Setelah aku coba membacanya, ternyata isinya menarik. Aku selesai membaca Bumi Manusia dalam empat hari, agak kaget juga bisa secepat itu. Kubaca setelah pulang kerja, kusempatkan, meskipun capek, sebenarnya, setelah seharian berhadapan dengan mesin-mesin pabrik. Aku bekerja sebagai buruh di salah satu pabrik di kawasan Jababeka, Cikarang.

buruh membaca Pramoedya.
Eko Ari Wibowo di sela-sela kesibukannya sebagai buruh pabrik dan aktivis serikat buruh, menyempatkan diri membaca buku-buku Pram, 1 Agustus 2014. Kredit: dok pribadi.

Buku Bumi Manusia mengisahkan awal mula, cikal bakal membibitnya Nation Indonesia pada awal abad 20. Diambil dari sudut pandang kegamangan dan kegelisahan seorang Minke. Ia sebagai aktor sekaligus kreator, berdarah priyayi, yang berusaha menjadi manusia bebas dan merdeka. Tak boleh ada sembah-menyembah terhadap sesama manusia. Itulah mengapa ia sangat kagum dengan budaya dan ilmu pengetahuan Eropa yang mengajarkan persamaan antar manusia.

Kekagumannya ini membuat Minke meninggalkan kejawaannya yang kental dengan kepriyayian. Ia mengumpat-kutuk sembah terhadap manusia, dan ia berharap anak cucunya kelak meninggalkan budaya sembah itu. Bahkan, ia membuang gelar bangsawannya, Raden Mas. Karena, sembah-menyembah terhadap manusia menghilangkan keindahan dunia, sebagaimana dijanjikan oleh kemajuan ilmu pengetahuan Eropa.

Adalah Nyi Ontosoroh, seorang gundik Belanda, yang berkepribadian-kuat, yang menyadarkan bahwa ia harus melawan budaya Jawa dan Eropa yang bertentangan dengan Kemanusiaan. Minke menjadikan Nyi Ontosoroh sebagai guru sekaligus ibu mertuanya, yang mengajarkan kepadanya untuk menyaring budaya Eropa yang telah dikhianati oleh Eropa itu sendiri sebagai Bangsa Kolonial.

Bila dibaca dengan rendah hati, Bumi Manusia mengajarkan kebangkitan kebangsaan, anti kolonialisme, kerakyatan, demokrasi, martabat sebagai manusia, keberanian menjadi individu mandiri (namun tidak egois) dan menyaring hal-hal yang baik dari budaya Barat-Eropa [yang telah dikhianati dan dimanipulasi oleh Eropa (kolonial) itu sendiri].

Setelah membacanya, aku bisa merasakan diriku sedang berubah. Berkurang rasa canggungku dan minderku dalam menghadapi orang lain. Misalnya saat berunding dengan pihak manajemen, dan ngobrol dengan perangkat serikat yang lebih tinggi. Juga, untuk menggoreskan tulisan ini yang yang awalnya terasa susah sekali buatku. Kini, aku belajar dari sastra Pramoedya Ananta Toer. Aku terus membaca Tetralogi Pulau Buru: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca; juga buku-buku Pram yang lain.

Yang membuatku gembira, isteriku juga ikut membacanya. Dulu, ia agak jengkel. Karena aku sering membaca, ia merasa kurang diperhatikan. Maklum, aku kerja delapan jam per hari, kadang ditambah lembur empat jam, pulang-pergi ke pabrik perlu waktu dua jam, sehingga waktu luang sangat berharga bagi kami. Ia akhirnya penasaran juga, minta dipinjami buku, tapi yang lebih tipis bukunya, katanya. Ia pun membaca buku “Larasati”, yang juga karangan Pram. Dan setelah selesai, ia mulai membaca Bumi Manusia, yang selesai dalam waktu tiga hari. Saat itu kebetulan waktu libur panjang. Sekarang ini, ia sudah membaca sampai Jejak Langkah (buku ketiga), hampir selesai, tapi belum ada waktu lagi. Isteriku juga bekerja sebagai buruh di pabrik, sama sepertiku.

Mungkin nanti, saat libur panjang lagi, ia akan menyelesaikannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *