Meskipun status pegawai BUMN berbeda dengan pegawai swasta, namun aturan yang mengatur mengenai masalah ketenagakerjaan tetap mengacu pada UU no 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hal ini tertuang dalam bunyi pasal 1 angka 6 UU Ketenagakerjaan yang berbunyi:“Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.”Dalam hal ini, aturan mengenai pensiun pada pegawai BUMN adalah sama dengan aturan pegawai lain yang tunduk pada UU ketenagakerjaan. Aturan tersebut termuat dalam pasal 167 UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa:(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha, maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).(2) Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang diterima sekaligus dalam program pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata lebih kecil daripada jumlah uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan uang penghargaan masa kerja 1(satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4), maka selisihnya dibayar oleh pengusaha.(3) Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program pensiun yang iurannya/preminya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka yang diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi/iurannya dibayar oleh pengusaha.
sumber : http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51187e5c775a6/aturan-pensiun-pegawai-bumn