Jakarta – Federasi Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (FSEDAR) melakukan audiensi dengan Direktoral Jenderal Perpajakan, 15 Juli 2020, di Kantor Dirjen Pajak, Jakarta. Audiensi ini dilakukan untuk menyalurkan aspirasi anggota yang mengeluhkan potongan pajak yang dinilai terlalu besar dan tidak sesuai ketentuan, cara pengawasan pajak dan pemotongan pajak pesangon yang membebani korban pemutusan hubungan kerja (PHK).
Ketua FSEDAR, Saiful Anam, berharap pihaknya mendapatkan penjelasan yang benar mengenai pemotongan pajak di perusahaan sehingga buruh dapat dengan aktif melakukan kontrol jika terjadi kesalahan yang merugikan buruh maupun negara.
“FSEDAR pernah memiliki pengalaman dan kesulitan mengenai pajak, sehingga kami berharap agar mendapatkan penjelasan pemotongan PPh21 dengan benar,” kata Saiful di awal audiensi.
Beberapa pertanyaan yang muncul, misalnya dari Damiri yang menanyakan bagaimana jika buruh memiliki utang bank dan membayar zakat, sedangkan pajak dipotong oleh payroll.
“Seharusnya ada pengurangan pajak dengan memperhitungkan hutang dan zakat yang dibayar,” kata Damiri.
Buruh korban pemutusan hubungan kerja (PHK) Aice, Fajar Juniarto, juga mempertanyakan bagaimana jika terdapat suatu kesalahan dan selisih laporan SPT Tahunan yang kejadiannya sudah lama.
“Buruh telah meminta keterangan ke kantor pajak setempat, tapi tidak ada tanggapan. Apa yang harus dilakukan jika buruh menemukan kesalahan pemotongan pajak perusahaan?” tanya Fajar.
Seorang pegawai Dirjen Pajak, Wildan menjelaskan bahwa pemotongan PPh21 diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/Pmk.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi, lalu dijabarkan dalam Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor : PR/16/PJ 2016.
“Untuk pemotongan pajak dibagi menjadi bukan pegawai dan pegawai, di mana untuk pegawai dibedakan antara pegawai tetap dan pegawai tidak tetap,” jelasnya.
Selain itu, dijelaskan pula cicilan utang tidak dapat menjadi dasar bagi pengurangan pajak dan adanya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar Rp54 juta per tahun. Sebelum perhitungan pajak, harus dikurangkan terlebih dahulu dengan PTKP.
Menurut Saiful, masih banyak hal yang belum dijelaskan secara detail dalam audiensi ini karena keterbatasan waktu dan narasumber. Pihaknya berharap agar akan ada audiensi lanjutan, karena banyak hal belum terjawab, termasuk mengenai perlunya kebijakan penghilangan pajak pesangon yang sangat membebani korban PHK.