Bagaimana Pekerja Menghadapi Perundingan Bipartit?

perundingan bipartit
perundingan bipartit
Simulasi perundingan bipartit KSPB. Foto: AW

Perundingan bipartit adalah perundingan yang dilakukan di antara dua pihak yakni pihak pekerja dan pihak pengusaha yang dilatarbelakangi adanya permasalahan ketenagakerjaan di perusahaan.

Dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Nomor Per.31/MEN/XII/2008 tentang Pedoman Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui Perundingan Bipartit (Permenakertrans No. 31/2008),  yang dimaksud dengan perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/ serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam satu perusahaan.

Biasanya perundingan bipartit diajukan oleh serikat pekerja karena dalam praktiknya buruh yang lebih sering mengalami permasalahan ketenagakerjaan sebagai pihak yang melakukan pekerjaan. Sedangkan pengusaha lebih sering berada dalam posisi pasif karena sebagai pemberi kerja lebih banyak menentukan syarat-syarat kerja dan peraturan perusahaan.

Menghadapi perundingan bipartit tidak terlalu sulit, asalkan kita mengetahui aturan dan memiliki kekompakan untuk melakukan pengawalan. Berikut langkah-langkah perundingan bipartit:

1. Tentukan permasalahan

Sebelum mengajukan perundingan, serikat pekerja harus menentukan permasalahan apa yang harus diajukan. Permasalahan ini dapat terjadi karena adanya penyimpangan norma kerja yang dilakukan oleh perusahaan dan/atau kebutuhan pekerja/buruh untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Dalam menentukan permasalahan, tidak ada pembatasan mengenai berapa jumlah permasalahan yang bisa diajukan. Namun seringkali permasalahan pokok yang harus diajukan terlebih dahulu, seperti permasalahan status kerja atau permasalahan kekurangan upah. Permasalahan status kerja menjadi lebih penting karena menyangkut keberadaan buruh di pabrik. Jika pekerja/buruh berstatus sebagai pekerja kontrak, maka keberadaannya hanya bersifat sementara saja di perusahaan.

Oleh karena itu, agar keberadaannya menjadi lebih permanen, maka yang biasanya dipermasalahan terlebih dahulu adalah penyimpangan status kerja, barulah kemudian masuk ke permasalahan lain, seperti upah, tunjangan dan kondisi kerja lainnya.

2. Belajar dan Simulasi

Penting sekali proses belajar dan simulasi, khususnya bagi buruh yang baru mulai membentuk serikat. Yang harus dipelajari adalah hukum ketenagakerjaan dan tata cara perselisihan hubungan industrial.

Sebagai contoh, apabila permasalahan yang diajukan adalah penyimpangan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), maka harus banyak-banyak mendalami Pasal 59 UU Nomor 13 Tahun 2003 dan Kepmenakertrans Nomor 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Penggunaan PKWT sebagai dasar memperselisihkan. Sementara tata cara perselisihan hubungan industrial mengacu pada UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial beserta peraturan turunannya, termasuk Permenakertrans No. 31/2008.

Tidak cukup hanya teori, pendalaman tata cara perundingan dilakukan dengan melakukan latihan melalui simulasi. Dalam hal ini, pekerja harus mendapatkan bantuan dari orang-orang yang sudah berpengalaman dalam melakukan perundingan, misalnya pengurus federasi.

Dalam simulasi, kita melakukan latihan perundingan yang kondisinya dibuat semirip mungkin dengan keadaan sebenarnya. Para pengurus yang lebih berpengalaman dapat berperan sebagai pengusaha, sedangkan pekerja/buruh yang akan melakukan perundingan, dapat berperan sebagai dirinya sendiri.

3. Pengajuan

Pengajuan bipartit dilakukan dengan mengirimkan surat permintaan bipartit kepada pengusaha, yang format suratnya dapat dilihat dalam Lampiran 1 Permenakertrans No. 31/2008. Isi surat permintaan perundingan bipartit tersebut harus mencatumkan tujuan, waktu dan tempat pelaksanaan yang diusulkan dan permasalahan yang ingin dirundingkan. Lihat contoh suratnya di sini: Contoh Surat Pengajuan Perundingan Bipartit

4. Pelaksanaan Perundingan

Perundingan dilaksanakan dengan mengacu pada Permenakertrans No. 31/2008.

Para pihak diwajibkan untuk memiliki itikad baik, santun, tidak anarkis dan menaati tata tertib perundingan yang disepakati. Dalam praktiknya, tata tertib perundingan bisa dibuat, bisa juga tidak, tergantung kesepakatan para pihak.

Dalam Pasal 4 Permenakertrans Bipartit, kedua belah pihak dapat menyusun dan menyetujui tata tertib secara tertulis dan jadwal perundingan yang disepakati. Kata “dapat” di sini bukan berarti suatu kewajiban.

Pekerja/buruh yang dirugikan yang bukan serikat pekerja jika berjumlah lebih dari 10 orang dapat menunjuk perwakilan sebanyak 5 (lima) orang. Sementara, setiap serikat pekerja dapat menunjukan wakilnya maksimal 10 orang dalam permasalahan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

Dalam proses perundingan, para pihak mengemukakan argumentasi masing-masing yang dicatatkan dalam risalah perundingan. Risalah harus menggambarkan apa-apa saja yang bisa disepakati dan apa-apa saja yang tidak bisa disepakati. Selain risalah, juga harus ada daftar hadir perundingan.

Format risalah dapat dilihat di bawah ini:

Untuk daftar hadir, mengikuti format berikut ini:

Risalah memuat nama lengkap dan alamat para pihak, tanggal dan tempat berunding, pokok masalah, pendapat para pihak, kesimpulan atau hasil perundingan serta tanggal dan tanda tangan para pihak yang terlibat dalam perundingan.

Kadang-kadang ada salah satu pihak yang tidak bersedia menandatangani, maka ketidaksediaan tersebut dicatatkan dalam risalah tersebut.

5. Akhir Perundingan Bipartit

Dalam perundingan bipartit, ada dua hal yang bisa terjadi:

  1. Adanya kesepakatan yang dituangkan dalam Perjanjian Bersama (PB) dan didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri wilayah para pihak mengadakan Perjanjian Bersama
  2. Tidak adanya kesepakatan yang dapat dicatatkan ke instansi ketenagakerjaan setempat untuk menempuh tahap selanjutnya yang biasanya berupa mediasi.

Apabila perundingan tidak mencapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang
disebabkan perundingan-perundingan yang dilakukan mengalami jalan buntu yang dinyatakan oleh para pihak dalam risalah perundingan, maka pihak pekerja dapat melakukan pemogokan dengan mengacu pada Pasal 140 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Kepmenakertrans Nomor Kep. 232/MEN/2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja yang Tidak Sah.

Tinggalkan Balasan