Bahtiar Sabang, Korban Kriminalisasi dan Rekayasa Hukum

Solidaritas.net, Sinjai-  Hukum di Indonesia acap kali disebut tajam ke bawah dan tumpul ke atas karena hukuman begitu cepat menindak rakyat jelata ketimbang orang yang kaya dan pemilik kuasa. Hal tersebut terjadi pada Bahtiar Sabang (45) yang kini berstatus sebagai tahanan rumah Kejaksaan Negeri (Kejari) Sinjai karena dituduh telah melakukan perambahan hutan. Padahal Bahtiar bermaksud menyiangi tanaman di tanah adat tempat ia bercocok tanam.

bahtiar sabang
Bahtiar Sabang di tahanan. Foto: Aman.or.id

Melalui surat perintah penangkapan bernomor :SP. KP/65/X/2014/Reskrim bertanggal 13/10/2014, Bahtiar ditangkap  pada 15 Oktober 2014 sekitar pukul 15.00 Wita. Warga desa Kampung Soppeng, Desa Turungan Baji Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan ini ditahan di Polres Sinjai.

Dilansir dari siaran pers Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Selatan, proses hukum yang menimpa Bahtiar terkesan tidak adil karena mengabaikan sejumlah hal berikut:

  1. Kesaksian ahli terlapor, Ibu Sandra Moniaga (Komisioner Komnas HAM) menjelaskan bahwa masyarakat adat adalah masyarakat rentan terhadap kriminalisasi dengan berbagai kepentingan yang ada di luar dirinya baik negara maupun swasta sehingga selayaknya masyarakat adat dilindungi sesuai dengan pengakuan negara terhadap keberadaan mereka.
  2. Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan pada rapat dengar pendapat pada 3 Desember 2014 di ruang pertemuan Komisi II DPRD Kab Sinjai menjelaskan semua kawasan hutan yang ada di wilayah hukum Kab Sinjai belum berstatus penetapan, namun masih dalam status penunjukan sedangkan pengusulan tata batas kawasan hutan di Kab Sinjai sendiri baru akan dilaksanakan di tahun 2015 kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
  3. Dalam persidangan yang menghadirkan saksi dari pelapor bernama ‘Katu’ yang menjelaskan dalam BAP bahwa Bahtiar Sabang menebang 40 batang pohon berdiameter 50 cm. Sedangkan pada saat memberikan kesaksian di persidangan, Katu menjelaskan bahwa ia tidak melihat Bahtiar menebang pohon dan diameter kayu yang ditebang bukan 50 cm, tapi jauh lebih kecil diameternya. Bahkan Katu mengatakan bahwa kayu tersebut tidak dapat diolah menjadi balok atau papan, namun hanya dapat dijadikan kayu bakar.
  4. Pada saat tinjauan lapangan oleh Hakim, Jaksa, Penasehat Hukum dan pihak-pihak lainnya, terbukti bahwa tidak ada bekas tebangan sebanyak 40 batang dan tidak ada bekas tebangan pohon berdiameter 50 cm.

Tinggalkan Balasan