
Solidaritas.net – Pembelaan aktivis Hak Azasi Manusia (HAM), Munir Said Thalib Al-Kathiri, terhadap para aktivis lainnya yang menjadi korban penculikan Tim Mawar dari Kopassus ternyata berujung pada pembunuhan. Dikutip dari Wikipedia.org, Munir yang pada saat itu menjabat sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial, diracun dengan menggunakan Arsenikum dan meninggal saat penerbangan menuju Belanda, 7 September 2004.
Munir akan melanjutkan studi S2 bidang hukum humaniter di Universitas Utrecht, Belanda sekitar pukul 21.30 WIB dengan menggunakan pesawat Garuda Indonesia nomor penerbangan GA 974 dari Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta tujuan Amsterdam.
Ia duduk di kelas bisnis nomor 3K, dan bukan miliknya, melainkan milik Pollycarpus Budihari Priyanto yang berstatus sebagai extra crew. Namun percakapan dengan Polly justru mengakibatkan Munir duduk di 3K yang semestinya Munir berada di kelas ekonomi nomor 40G.
Dalam penerbangan, Munir mulai bolak-balik toilet setelah menikmati teh yang diberikan oleh pramugari Tia Dewi Ambara lengkap dengan gula satu sachet. Hingga akhirnya Munir meminta bantuan pramugara Bondan Hernawa untuk memanggil Dr Tarmizi, seorang dokter kenalan Munir saat di pesawat.
Ketika memeriksa, dokter itu kerap mempertanyakan makanan yang dikonsumsi Munir. Purser Madjib menjawab bahwa Munir banyak minum air jeruk yang seharusnya tidak dikonsumsi karena Munir menderita maag. Namun, Dr Tarmizi membantah, bahwa penyakit maag tidak seperti yang tengah diderita Munir.
Kondisi Munir semakin melemah karena kekurangan cairan akibat muntaber. Dr Tarmizi sangat menyayangkan persediaan obat di pesawat yang sangat minim untuk kebutuhan penyakit Munir, bahkan pesawat tidak menyediakan infus.
Namun, ada primperam, obat antimual dan muntah, yang kemudian disuntikkan dr. Tarmizi ke tubuh Munir sejumlah 5 ml (dosis 1 ampul). Injeksi di bahu kiri ini cukup berpengaruh karena Munir kemudian tidur. Penderitaannya reda selama 2-3 jam. Munir kembali pergi ke toilet hingga akhirnya Madjib menemukan Munir sedang bersandar lemas di toilet. Kali ini, dokter menyuntikkan diazepam 5 mg di bahu kanan. Namun Munir masih saja merasakan mulas di perut dan lagi-lagi harus bolak-balik toilet.
Sekitar dua jam sebelum pesawat mendarat, jam 05.10 GMT atau 12.10 WIB, Madjib melangkahkan kaki mengunjungi “tempat tidur” Munir. Di depan kursi 4D-E, dia melihat tubuh Munir dalam posisi miring menghadap kursi, mulutnya mengeluarkan air liur tidak berbusa, dan telapak tangannya membiru. Dia memegang tangan Munir dan mendapati rasa dingin.
Madjib yang kaget bergegas menuju kursi sang dokter. Dokter memegang pergelangan tangan Munir sambil dengan tangan satunya menepuk-nepuk punggung. Dia berulang-ulang berujar, “Pak Munir… Pak Munir….“ Akhirnya, memandang purser Madjib, Dr Tarmizi berkata pelan, “Purser, Pak Munir meninggal… Kok secepat ini, ya…. Kalau cuma muntaber, manusia bisa tahan tiga hari,” Di lantai depan kursi 4J-K Munir berbaring di atas dua lembar selimut.
Pria kelahiran Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1964, meninggal di usia 38 tahun dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Kota Batu Malang.
Diketahui, saat menjabat Dewan Kontras nama Munir melambung sebagai seorang pejuang bagi orang-orang hilang yang diculik pada masa itu. Ketika itu dia membela para aktivis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar dari Kopassus. Setelah Soeharto jatuh, penculikan itu menjadi alasan pencopotan Danjen Kopassus Prabowo Subianto dan diadilinya para anggota tim Mawar.
Pada 14 April 2015, nama Munir diabadikan menjadi nama sebuah jalan sepeda di Den Haag, Belanda.