Belatung Hidup di Makanan Buruh

Belatung di makanan buruh PT BCI.

Sebuah video yang diunggah ke Facebook memperlihatkan belatung bergerak-gerak keluar dari potongan telur dadar. Telur dadar itu tinggal sepotong, sepertinya sudah habis dimakan separuhnya. Bayangkan saja perasaan orang yang sudah menyantap telur separuhnya ketika melihat belatung itu.

Belatung ditemukan di piring makan buruh yang bekerja sebuah pabrik. Celakanya video ini adalah kejadian kedua kalinya yang dialami oleh buruh yang sama, sebut saja namanya Ratih. Sampai kapan kejadian ini harus terus dibiarkan, Ratih beristigfar.

Belakangan saya mencoba menelusuri nama pabrik tempat Ratih bekerja. Keluarlah nama PT BCI yang berlokasi di Jl. Raya Karawang Cikampek, Kabupaten Karawang. Pabrik BCI memproduksi sepatu merek terkenal asal Jepang.

PT BCI adalah perusahaan bermasalah. Setidaknya buruh-buruhnya sudah kali melakukan pemogokan. Pada September 2013, sekitar 7.000 buruh mogok memprotes pembayaran upah di bawah upah minimum. Mogok kedua terjadi pada Desember 2017, buruh menuntut perusahaan menghentikan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak, termasuk terhadap buruh perempuan hamil.

Temuan ulat dan belatung pada makanan lainnya menimpa buruh di pabrik PT Senopati Fujitrans Logistic Services (PT SENFU). Ulat itu sudah mati, tapi cukup mencolok berwarna kehijauan. Nampak seperti ulat yang biasa ditemukan di sayuran. Belatung mati juga pernah ditemukan. Belatung mati mengindikasikan makanan tersebut adalah makanan sisa kemarin yang dipanaskan kembali.

PT SENFU melakukan diskriminasi dalam penyediaan makanan untuk buruhnya. Menu makanan buruh berstatus karyawan tetap dibedakan dari buruh outsourcing, kontrak dan harian. Karyawan tetap mendapatkan makanan menu restoran, seperti bistik, steak ayam dan sate. Juga diberikan tambahan minuman seperti yoghurt, jus atau es buah. Sebaliknya, buruh outsourcing hanya mendapatkan makanan rantangan yang terkadang ada “bonus” ulat atau belatungnya.

Perbandingan makanan buruh PT SENFU.

Uang Makan

Sudah menjadi rahasia umum pengadaan makanan kerap menjadi objekan oknum-oknum yang memiliki kekuasaan di perusahaan. Proyek pengadaan makanan diserahkan kepada jasa penyedia katering dengan imbalan komisi untuk para oknum.

Praktik korup semacam ini mengurangi kualitas makanan buruh karena biaya makanan dipotong untuk membayar komisi tersebut. Apalagi jika perusahaan katering mengambil untung besar, tentu biaya tambah ditekan. Makanan sisa kemarin pun masih dihidangkan kembali. Pemotongan bisa mencapai 40 persen, misalnya budget Rp15 ribu aktualnya hanya menjadi menu makanan harga Rp8 ribu.

Itulah sebabnya serikat cenderung meminta fasilitas makan diuangkan saja. Tapi tidak selalu mudah menemukan warung atau kantin di sekitar pabrik. Mencari kantin di tempat yang jauh tentunya membuang-buang waktu istirahat yang hanya satu jam. Karena waktu satu jam tidak hanya digunakan untuk makan, tapi juga untuk salat Zuhur. Akibatnya makan bisa terburu-buru dan malah membahayakan kesehatan.

Belakangan ini makanan bisa dipesan secara online dengan aplikasi, meskipun buruh harus membayar lebih mahal harga makanannya dan ada tambahan ongkos antar. Seringkali buruh memesan makanan beramai-ramai dengan rekan kerjanya agar menghemat ongkos antar. Membawa bekal makanan juga dianggap bukan solusi karena merepotkan, sulit disimpan, kurang enak karena sudah dingin dan beresiko basi.

Jumlah uang makan yang diberikan oleh perusahaan tidak selalu sesuai standar harga makanan yang dijual di pasaran. Sebagian perusahaan ada yang memberikan fasilitas uang makan Rp15 ribu sampai Rp20 ribu. Sebagian lainnya, hanya Rp10 ribu, bahkan ada yang Rp5 ribu. Kalau sudah begini, bisa makan apa? Lagi-lagi untuk makan harus menggunakan uang dari upah sendiri.

Makanan gratis di tempat kerja tergolong sebagai fasilitas kerja yang dalam PP No. 78/2015 tentang Pengupahan dijelaskan sebagai “sarana/peralatan yang disediakan oleh perusahaan bagi jabatan atau pekerjaan tertentu atau seluruh pekerja/buruh untuk menunjang pelaksanaan pekerjaan” (Penjelasan Pasal 9). Perusahaan dapat memberikan uang pengganti fasilitas kerja (Pasal 2 ayat 2) apabila tidak mampu menyediakan fasilitas tersebut. Atau bisa juga uang pengganti diberikan atas kesepakatan antara pengusaha dengan perwakilan buruh atau serikat pekerja.

Sebetulnya yang paling ideal adalah fasilitas makanan gratis yang layak dari perusahaan. Makanan harus bergizi, mengandung kalori yang cukup dan higienis. Dengan begitu, buruh tinggal makan saja dan tak perlu repot-repot mencari makanan di luar pabrik. Namun, kasus-kasus penemuan belatung dan ulat di makanan dari pabrik terpaksa menjadikan uang makan lebih menjadi pilihan.

Tinggalkan Balasan