Beragam Putusan Atas PHK Karena Kesalahan Berat

Foto ilustrasi (kredit sinarharapan.com)
Foto ilustrasi (kredit sinarharapan.co)

Solidaritas.net – Pada tanggal 28 Oktober 2004, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan nomor 012/PUU-I/2003, yang menetapkan bahwa ketentuan pada pasal 158 dalam UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Putusan ini dikeluarkan setelah buruh dan serikat buruh mengajukan hak uji materiil atas UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya terhadap pasal 158. Untuk diketahui, pasal 158 ini mengatur hak pengusaha untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) karena kesalahan berat.

Dalam pasal tersebut, pada pokoknya mengatur tentang perbuatan pidana yang telah diatur dalam KUHP. Dan pasal ini memperbolehkan pengusaha melakukan PHK karena kesalahan berat, tanpa adanya proses peradilan lebih lanjut, baik itu melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial maupun pengadilan pidana.

Oleh karena itu, MK memutuskan bahwa pasal 158 tersebut bertentangan dengan pasal 27 ayat (1) dalam UUD 1945 serta melanggar azas praduga tak bersalah. Tidak lama berselang, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengeluarkan Surat Edaran nomor SE.13/MEN/SJ-HK/I/2005 pada tanggal 7 Januari 2005.

Isi dari surat edaran ini pada dasarnya mengatur penyelesaian perselisihan hubungan industrial akibat buruh melakukan kesalahan berat, dengan memperhatikan 2 hal. Pertama, PHK karena kesalahan berat dapat dilakukan setelah ada putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap. Kedua, apabila buruh ditahan oleh pihak berwajib sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan, maka berlaku ketentuan pasal 160 dalam UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Sayangnya, dalam surat edaran ini, dimunculkan kembali hak pengusaha untuk melakukan PHK akibat adanya alasan mendesak. Namun tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang disebut sebagai alasan mendesak tersebut. Hanya diatur bahwa pengusaha dapat melakukan PHK akibat adanya alasan mendesak ini melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Dilansir dari Hukumonline, yang disebut sebagai alasan mendesak ini juga terdapat dalam KUH Perdata pasal 1603 huruf o, yang isinya kurang lebih sama dengan ketentuan eks pasal 158 dalam UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sehingga saat ini banyak ditemui pengusaha yang melakukan PHK dengan alasan buruh melakukan kesalahan berat, berlandaskan pada Surat Edaran tersebut dan KUH Perdata pasal 1603 huruf o.

Keputusan PHI terhadap hal ini pun menjadi beragam, sebagian mengabulkan dan sebagaian lagi menolak jika tidak disertai adanya putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap. Ada juga yang mengabulkan dengan dasar buruh melakukan pelanggaran terhadap perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, jika tentang kesalahan berat diatur di dalamnya.

Bagi kaum buruh, tidak ada perubahan mendasar baik sebelum putusan MK maupun pasca putusan MK. Sebab faktanya, alasan kesalahan berat masih dapat digunakan oleh pengusaha untuk melakukan PHK, tanpa adanya proses pembuktian pidana. Dan jika kerancuan ini masih belum cukup, alasan “disharmoni” atau “tidak harmonis” masih menjadi landasan favorit bagi hakim-hakim PHI dalam mengabulkan PHK.

Tinggalkan Balasan