Solidaritas.net – Setiap hari raya keagamaan sudah ditetapkan oleh pemerintah sebagai hari libur. Pada tanggal-tanggal hari raya keagamaan tersebut telah ditandai dengan tanggal merah, yang menandakannya sebagai hari libur.
Gambar ilustrasi. |
Namun karena tuntutan pengusaha, tidak sedikit para pekerja, termasuk kaum buruh yang tetap bekerja pada saat liburan hari raya keagamaan tersebut. Apalagi, para buruh yang bekerja di pabrik-pabrik yang beroperasi selama 24 jam, yang mewajibkan harus selalu ada tenaga yang mengoperasikan mesin.
Bekerja pada hari libur resmi seperti ini dianggap sebagai lembur.
Mengenai hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 85 ayat (2).
“Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari libur resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha.”
Namun, dalam kondisi seperti ini, pengusaha wajib membayar upah lembur, seperti diatur dalam Pasal 85 ayat (3) dan Pasal 78 ayat (2) pada peraturan yang sama. Besaran upah kerja lembur pada saat hari raya keagamaan yang harus dibayarkan oleh para pengusaha yang mempekerjakannya, telah diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 102/VI/2004 Pasal 11 huruf b dan huruf c.
Peraturan itu sendiri membagi cara penghitungan upah kerja lembur pada hari libur resmi yang ditetapkan oleh pemerintah, seperti libur hari raya keagamaan, menjadi dua bagian, yakni sebagai berikut:
1. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi untuk waktu kerja 6 (enam) hari kerja 40 (empat puluh) jam seminggu maka:
a. perhitungan upah kerja lembur untuk 7 (tujuh) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, dan jam kedelapan dibayar 3 (tiga) kali upah sejam dan jam lembur kesembilan dan kesepuluh 4 (empat) kali upah sejam;
b. apabila hari libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek perhitungan upah lembur 5 (lima) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, jam keenam 3 (tiga) kali upah sejam dan jam lembur ketujuh dan kedelapan 4 (empat) kali upah sejam.
2. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi untuk waktu kerja 5 (lima) hari kerja dan 40 (empat puluh) jam seminggu, maka perhitungan upah kerja lembur untuk 8 (delapan) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, jam kesembilan dibayar 3 (tiga) kali upah sejam dan jam kesepuluh dan kesebelas 4 (empat) kali upah sejam.
Namun, mengenai kerja lembur pada hari libur resmi, termasuk libur hari raya keagamaan ini sendiri, para pengusaha harus mendapatkan persetujuan dari buruh yang bersangkutan. Hal ini diatur secara jelas dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 78 ayat (1), yang juga menyebut bahwa “Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.”
Terhadap peraturan ini, ada salah satu kasus pelanggaran yang dilakukan oleh manajemen perusahaan Total Buah Segar pada tahun 2009 silam, di mana mereka menerapkan aturan bagi buruh yang menolak untuk bekerja saat hari raya Lebaran, akan dilakukan pemotongan upah. Kebijakan ini dinilai telah melanggar UU Ketenagakerjaan. Dalam hal pemaksaan untuk kerja lembur seperti ini, para buruh pun bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Pada dasarnya, Hari Raya adalah hari besar bagi umat beragama, sehingga berapa pun upah lembur yang tidak ditawarkan tidak akan bisa membeli kebersamaan merayakan hari raya bersama orang-orang yang tercinta. Itulah mengapa kebanyakan mereka yang mengambil lembur pada hari raya adalah mereka yang tidak merayakannya atau beragama lain.