Solidaritas.net, Jawa Timur – Dengan alasan kebijakan pemerintah yang telah menetapkan target pendapatan Cukai Hasil Tembakau (CHT) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 naik 2,58 persen menjadi Rp 142,7 triliun membuat industri hasil tembakau (IHT) kewalahan. Pengusaha industri rokok menyatakan siap merumahkan 25 ribu pekerjanya pada 2016 mendatang.
Pasalnya hal itu dilakukan untuk mengantisipasi rendahnya penjualan akibat harga rokok yang akan semakin mahal seiring dengan target peningkatan CHT. Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Jawa Timur, Sulami Bahar mengatakan, kenaikan cukai selalu membunuh sebagian besar IHT di dalam negeri karena akan semakin sulit menjual rokok yang harganya kian melambung.
Ia mencatat ketika tarif CHT rata-rata naik 8,4 persen pada 2014, ada sekitar 19 ribu pekerja di sektor tersebut kena pemutusan hubungan kerja (PHK). Apalagi dengan kenaikkan cukai mencapai lebih dari 10 persen seperti yang direncanakan Pemerintah, ia memperkirakan tahun depan industri rokok di Jawa Timur harus merumahkan 25 ribu pekerjanya.
“Ini sangat ironis. Jawa Timur itu memberikan kontribusi sebanyak 60 persen terhadap industri rokok nasional,” kata Sulami, Minggu (11/10/2015), dilansir dari cnnindonesia.com.
Ia menghitung, saat ini di Jawa Timur ada sekitar 155 pabrik rokok aktif, lebih sedikit dibandingkan jumlah pabrik yang beroperasi pada 2014 sebanyak 400 pabrik. Selain cukai tinggi, Sulami juga menilai kebijakan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 20/PMK.04/2015 makin memberatkan industi. PMK yang diteken Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro mewajibkan pembayaran pita cukai yang jatuh temponya pada Januari dan Februari (2016), harus dilunasi pada Desember tahun ini. Sehingga penarikan cukai tahun ini tercatat 14 bulan.
“Kami yang sudah memberi kontribusi luar biasa terhadap negara, tetapi industri tembakau nasional selalu dirongrong,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Harian Persatuan Perusahaan Rokok Kudus (PPRK), Agus Sarjono menambahkan, akibat naiknya CHT setiap tahun yang terbilang tinggi, perusahaan pun terus dipaksa menaikkan harga jual. Masalahnya, kata Agus, daya beli masyarakat merosot akibat buruknya kondisi ekonomi saat ini. Penjualan pun tergerus dan pabrik terpaksa melakukan efisiensi, termasuk mengambil pilihan PHK pekerja.
“Pada 2014 di Kudus, saya perkirakan masih ada 1.300 perusahaan rokok yang terdaftar, tahun ini hanya tersisa kurang dari 300 perusahaan saja. Itupun yang rutin belanja cukai tidak lebih dari 80 perusahaan. Jadi, pemerintah sukses memberangus perusahaan IHT dalam negeri,” tegas Agus.