Solidaritas.net, Jakarta – Peraturan baru Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) tidak lagi membebankan biaya jasa penempatan terhadap buruh migran Indonesia (BMI). Dalam pasal 76 ayat (1) Permenakertrans No 22 tahun 2014 menyatakan komponen biaya jasa perusahaan pengerah tenaga kerja kerja Indonesia swasta (PPTKIS) dan agensi asing dilarang membebankan biaya tersebut pada BMI dan menjadi tanggungjawab majikan.

Aktivis pembela buruh migran, Ramses Desemberita, menjelaskan biaya penempatan yang berlebih pekerja rumah tangga (PRT) migran Indonesia di Malaysia sebesar 12 ribu ringgit atau sekitar Rp 38,4 juta yang harus dibayar oleh majikan dan sebesar Rp 12,32 juta dikenakan pada PRT migran Indonesia. BMI membayarnya dengan cara mencicil selama 7 bulan melalui pemotongan gaji.
“Hal ini berbanding terbalik dengan gaji PRT Migran Indonesia yang hanya 550 ringgit atau Rp 1,76 juta,” kata aktivis dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) ini.
Menurutnya, hal ini tidak adil karena biaya penempatan BMI di Hong Kong dan Singapura hanya sebesar Rp 2 juta saja.
Biaya penempatan berlebih (overcharging) ini seharusnya tidak lagi dibebankan kepada BMI karena pasal 42 Permenakertrans No 22 tahun 2014 hanya membolehkan beban biaya berupa pengurusan dokumen jati diri, pemeriksaan kesehatan dan psikologi, pelatihan kerja dan sertifikasi kompetensi kerja, visa kerja, akomodasi dan konsumsi selama masa penampungan, tiket pemberangkatan dan retribusi jasa pelayanan bandara (airport tax), transportasi lokal sesuai jarak asal BMI ke tempat pelatihan atau penampungan dan premi asuransi.
Tim Advokasi SBMI menyatakan dengan adanya peraturan baru ini, maka setiap calon BMI yang ditempatkan di Hong Kong paling tinggi hanya boleh dikenakan biaya pungutan sebesar Rp 10 juta dan Rp 9 juta bagi BMI yang ditempatkan di Singapura. Untuk BMI yang akan memperpanjang masa kerjanya hanya dikenakan biaya penempatan sekitar Rp 2 juta.