Akhir-akhir ini, seiring dengan semakin dekatnya penyelenggaraan pengenalan kehidupan kampus bagi mahasiswa baru (baca: ospek), senioritas kembali mendapat tempat penting dalam obrolan-obrolan/diskusi di kalangan mahasiswa. Sebagian mahasiswa, dengan berbagai alasan pembenarannya menganggap bahwa senioritas di kalangan mahasiswa masih perlu untuk terus dijaga. Sebagian lainnya menganggap bahwa senioritas adalah sampah zaman yang semestinya sudah lama membusuk di tempat sampah.
Para pembela senioritas menganggap (dari segi moralitas) bahwa baik buruknya praktek-praktek senioritas di kampus tergantung siapa yang menjalankannya. Selagi yang menjalankan adalah orang yang tepat, maka senioritas akan berdampak baik, begitu sebaliknya. Singkatnya: senior yang baik akan mampu mengarahkan junior ke jalan yang benar; junior yang baik adalah junior yang harus menghormati seniornya karena usianya lebih tua; kira-kira demikianlah harapan idealnya.
Pada kenyatannya, alih-alih berdampak baik, di kampus praktek-praktek senioritas justru menjadi alat bagi senior untuk melegitimasi dominasinya atas junior. Hanya karena merasa lebih tua, senior seringkali menganggap remeh junior. Pada penerimaan mahasiswa baru misalnya, mahasiswa baru dipaksa harus tunduk, patuh dan bungkam terhadap setiap perintah senior.
Relasi senior-junior ini juga acap kali dimanfaatkan oleh rektor dan birokrasi kampus untuk mengamankan kekuasaannya dari gelombang protes mahasiswa. Beberapa kali bisa kita temui di kampus-kampus, yang karena kedekatannya dengan rektor, mahasiswa senior (juga ada alumni) dimanfaatkan untuk meredam kemarahan mahasiswa junior atas bobroknya kampus. Alhasil mahasiswa-mahasiswa yang sudah dijejali sejak awal bahwa junior harus menghargai senior ini terkadang tanpa pikir panjang langsung mengiyakan saja dan memilih meredam kemarahan mereka.
Berkaca dari pengalaman-pengalam yang sering kita temui di kampus tersebut, senioritas sangat berpotensi untuk menumpulkan nalar kritis mahasiswa karena menanamkan budaya patuh, bungkam, tunduk, yang pada akhirnya menyebabkan mahasiswa tidak berani menghadapi penindasan, tidak memprotes, serta tidak melawan kesewenangan, seperti yang pernah dilakukan oleh rezim Orde Baru untuk mengamankan kekuasaannya dari gelombang protes mahasiswa. Selain itu, senioritas juga menghambat terciptanya kesetaraan di kalangan mahasiswa, sehingga antar mahasiswa terus menerus dibenturkan agar tidak bisa bersatu melawan penindasan.
Mengubah Kampus dan Kebutuhan Solidaritas
Adalah kapitalisme lah yang menjadi akar dari masalah yang dihadapi mahasiswa di kampus saat ini. Biaya kuliah yang semakin mahal, tidak adanya ruang demokrasi, regulasi pendidikan yang pro modal, hanyalah sedikit dari berbagai gejala rusaknya esensi pendidikan oleh sistem yang menindas ini.
Kenapa kapitalisme? Bukankah kebijakan-kebijakan di kampus lebih banyak di atur oleh negara melalui tangan rektor dan birokrasi kampus?
Menyalahkan rektor dan birokrasi kampus pada dasarnya bukanlah tindakan yang salah, namun hal itu dapat menggeser akar masalah yang sebenarnya, yakni sistem yang sekarang dianut oleh kampus secara khusus, umumnya oleh sistem pendidikan di Indonesia saat ini.
Dalam Program of the Democratic Socialist Party, Doug Lorimer menjelaskan, “Peran negara dalam masyarakat kapitalis adalah untuk membela kepentingan kelas yang memiliki alat-alat produksi (kelas berkuasa) dengan menekan segala ancaman terhadap dominasinya dan mengintegrasikan secara ideologis kelas-kelas yang dieksploitasi”. Kepentingan dari kelas yang berkuasa hari ini adalah menghasilkan profit yang pada akhirnya sistem pendidikan pun, melalui regulasi yang dibuat negara diarahkan untuk memenuhi kepentingan tersebut.
Namun rektor dan birokrasi kampus bukan berarti seperti boneka yang tak berdaya dan tak perlu dipersalahkan atas kebijakan-kebijakan yang mereka ambil. Keputusan mereka memilih untuk menjadi perpanjangan tangan dan berdidiri di sisi kelas berkuasa, dengan demikian telah menjadikan mereka bagian dari kelas berkuasa. Oleh karenanya perlawanan terhadap mereka adalah ekspresi dari perlawanan terhadap kelas berkuasa dan sistem yang ada di belakangnya.
Masalah-masalah yang menumpuk di lingkungan kampus inilah yang menuntut perlunya persatuan perjuangan mahasiswa untuk melakukan gerakan perlawanan demi mengubah kampus dan menggilas sistem yang menindas ini sampai ke akar-akarnya. Sekat-sekat yang dibangun oleh senioritas (senior-junior) sudah semestinya kita buang jauh-jauh, terlebih ketika mahasiswa seluruh dunia menghadapi sebuah ancaman universal, yaitu kapitalisme.
Tidak cukup sampai di situ saja, karena kepentingan kapitalisme untuk meraup keuntungan sebesar-sebesarnya dan kontrol kapitalis atas alat-alat produksi memungkinkan mereka untuk tidak hanya mendominasi di satu sektor kehidupan saja, melainkan semua sektor kehidupan rakyat (sektor buruh, tani, mahasiswa dan rakyat miskin lainnya), maka gerakan perlawanan mahasiswa sudah seharusnya tidak hanya di konsentrasikan di dalam kampus saja. Gerkan mahasiswa harus terlibat aktif bersolidaritas dengan kekuatan sektor gerakan rakyat lainnya guna menumbangkan sistem kapitalisme.
Solidaritas yang dibangun ini haruslah solidaritas yang bersifat horizontal, yang membagi resiko kepada seluruh orang yang terlibat dalam gerakan, dan tidak hanya dengan menjadi komentator yang duduk di belakang panggung yang hanya bisa menanyakan macam-macam tapi tidak pernah membela sesuatu apapun. Sejarah telah banyak memberikan pelajaran kepada kita, hanya dengan cara seperti itulah tujuan untuk menggilas tatanan masyarakat kapitalis akan terbuka lebar.
Untuk mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengutip kata-kata Trotsky tentang gerakan mahasiswa: “Kaum borjuis menghargai gerakan mahasiswa dengan setengah setuju, setengah memperingatkan; kalau para pemuda mengadakan sedikit guncangan terhadap birokrasi monarkis, hal itu tidak terlalu jelek, selama ‘anak-anak itu’ tidak bergerak terlalu jauh dan tidak membangkitkan perjuangan keras dari massa.” (Trotsky, Revolusi Spanyol 1931-39).
Selamat datang mahasiswa baru!
Panjang umur persatuan rakyat!
Panjang umur solidaritas!
Lawan senioritas!