Bekasi – Gabungan Solidaritas Perjuangan Buruh (GSPB) memperingati Hari Ibu dengan membagi-bagikan bunga di kawasan Gobel dan pusat perbelanjaan Ramayana. Aksi yang dilakukan tidak hanya diikuti buruh perempuan, buruh laki-laki turut serta dalam aksi yang dilakukan tepat tanggal 22 Desember.
![]() |
Buruh saat memperingati Hari Ibu (foto: Maya/Solidaritas.net) “CC-BY-SA-3.0” |
Bunga itu juga bertuliskan tuntutan buruh. Isi tuntutan yang dituliskan adalah pendidikan dan kesehatan gratis untuk kaum perempuan dan rakyat miskin; sediakan teknologi murah dan massal untuk rumah tangga.
Pembuatan bunga mereka kerjakan bersama-sama, bahkan beberapa di antara mereka ada yang kurang tidur untuk mengerjakannya. Maka, tidak heran jika di awal pembagian bunga ada rasa kecewa karena warga menduga buruh sedang berjualan dan menolak pembagian bunga bahkan menjauh dari buruh yang tengah berdiri memegang bunga.
“Saya sampai tidak tidur untuk membuat bunganya,” tutur Mila merasa kecewa.
Selanjutnya, koordinator lapangan (Korlap) memutuskan melakukan orasi, bunga itu dibagikan secara gratis dalam rangka memperingati hari Ibu. Korlap juga menyinggung sejarah 22 Desember yang diperingati menjadi Hari Ibu, dimana penetapannya tidak terlepas dari penghargaan untuk para pejuang perempuan.
Akhirnya, aksi bagi bunga berjalan lancar, para pengguna jalan mulai antusias menerima bunga. Mereka tersenyum sembari mengucapkan terima kasih hingga beberapa orang pelajar yang menerima bunga itu memutuskan bergabung dengan massa aksi untuk turut membagikan bunga.
Persoalan Perempuan
Sejarah Hari Ibu dimulai tanggal 22 Desember 1928, para pejuang perempuan Indonesia melakukan kongres di Yogyakarta. Kongres yang diikuti 30 organisasi perempuan membahas peranan perempuan dalam memperjuangkan kemerdekaan dan berbagai persoalan lainnya yang menyangkut kepentingan rakyat.
Pada kongres ketiga 22 Desember 1938, perempuan peserta kongres menetapkan hari itu menjadi Hari Ibu. Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 menetapkan bahwa tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu dan dirayakan secara nasional hingga saat ini.
Sejak Orde Baru (Orba) berkuasa, organisasi perempuan dipukul mundur. Ruang gerak perempuan dibatasi, mereka “didorong” masuk ke dalam organisasi-organisasi bentukan negara, seperti Dharma Wanita dan PKK. Struktur organisasi mengikuti hirarki jabatan suami, yang sesungguhnya hanya melestarikan ideologi patriarki di mana perempuan ditempatkan di sumur, dapur dan kasur.
Situasi ini semakin melestarikan budaya patriarki karena perempuan menjadi tak memiliki kontrol sosial dan bukan pengambil keputusan. Peran perempuan dalam kehidupan domestik tak dianggap bernilai dalam meningkatkan status sosial dan ekonomi. Meski sesungguhnya peranan ini berkontribusi dalam merawat tenaga kerja maupun calon tenaga kerja yang menggerakan roda peradaban manusia. Realitanya, kaum perempuan adalah tenaga kerja yang tidak dibayar.
Di dunia kerja, buruh perempuan menghadapi persaingan dan diskriminasi. Perempuan mendapatkan upah dan tunjangan yang lebih sedikit ketimbang buruh laki-laki karena perempuan tidak dianggap sebagai kepala keluarga. Mereka juga ditempatkan di sektor atau bidang pekerja yang dianggap “cocok“ untuk dikerjakan oleh perempuan.
Sebagian besar pekerjaan tersebut mengeksploitasi “kecantikan“ sebagai barang dagangan. Buruh perempuan dipekerjakan disektor tertentu yang memerlukan kepatuhan tinggi demi melipatkgandakan perempuan, misalnya sektor garmen. Namun menuju posisi strategis peran buruh perempuan semakin minim.
Dalam bidang politik, perempuan sekadar menjalankan agenda-agenda partai yang berideologi “patriarkis”. Kecenderungan kebijakan yang ada bersifat moralis dan menyalahkan tubuh perempuan sebagai sumber masalah, sehingga perda pengontrol tubuh perempuan perlu diterbitkan.
Kesetaraan gender sebenarnya sudah diakui di dalam hukum Indonesia sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM). Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) melalui UU No.7 tahun 1984. Hak-hak perempuan juga telah diakui dalam pasal 45-51 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, bahkan lebih jauh lagi konstitusi telah mengakui persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” (Isi pasal 27 UUD 1945)
Namun, dalam realitasnya penafsiran mengenai apa yang baik dan setara bagi perempuan dikuasai oleh kekuasaan yang menindas dan patriarkis. Ide-ide feminisme mengalami kesulitan besar untuk berkembang secara luas karena stigma yang dibangun oleh masa Orde Baru sudah begitu dalam.
Kunci keberhasilan feminisme juga ada pada bangkit bersama gerakan yang melawan ketidakadilan yang sejauh ini sulit berkembang. Hal ini dikarenakan demonisasi gerakan rakyat pada masa lalu dan upaya-upaya kekuasaan untuk menghancurkan gerakan (kiri), sedangkan di sisi lain memberikan tempat bagi berkembangnya gagasan-gagasan fundamentalisme agama.