Buruh Aice yang Kena Sanksi Karena Mogok Kerja Bertahan Hidup Dengan Jualan

0
Poster perjuangan buruh AICE. Li Zhiming adalah direktur utama AICE, warga negara Tiongkok.

Solidaritas.net – Nasib ratusan buruh di pabrik es krim Aice, PT. Alpen Food Industry makin tak menentu. Mereka harus berhadapan dengan situasi yang mencekam. Satu sisi harus mengikuti anjuran pemerintah agar tetap di rumah karena adanya virus corona (Covid-19), disisi lain harus terus memperjuangkan haknya yang tak kunjung digubris pengusaha.

Sudah hampir empat bulan, terhitung sejak akhir 2019 mereka pertama kali melakukan mogok kerja lantaran perundingan menuntut perbaikan kondisi kerja dan sejumlah tuntutan lainnya gagal alias buntu tak ada penyelesaian.

Awalnya buruh hanya mogok tiga hari dan masuk kerja kembali. Lalu kembali mogok pada 21 Februari  sampai 5 Mei 2020. Meski pemogokan telah dihentikan karena berakhirnya masa pemogokan dan adanya pembatasan sosial berskala besar, petinggi perusahaan tidak tergerak hatinya sedikit pun.

Selama melakukan mogok kerja, mereka kerap dilayangkan surat peringatan, demosi, bahkan pemutusan hubungan kerja (PHK) dari perusahaan bermodal asal Tiongkok tersebut. Upah selama mogok kerja pun tak dibayarkan.

Jualan Takjil

Untuk bertahan hidup dan mencukupi kebutuhan keluarga selama pandemi korona dan dalam bulan puasa, sebagian dari mereka memilih berjualan. Seperti sekarang yang dilakukan oleh Vivi, seorang buruh di pabrik AICE yang kini sedang bersama berjuang dengan Serikat Gerakan Buruh Bumi Indonesia (SGBBI).

Dia tidak kehilangan akal agar kebutuhan makan sehari-hari terpenuhi. Bersama suaminya yang juga sebagai buruh di pabrik tersebut membuka usaha kecil untuk menutupi kekurangan biaya hidup.

“Saya bersama suami jualan sirup marjan, sirup abc, gula pasir dan permen jahe. Pendapatannya tergantung konsumen sih, apalagi sekarang ada wabah dan disuruh di rumah aja,” ujar Vivi yang sudah bekerja di pabrik es krim sejak Agustus 2016 itu.

Wabah yang kerap disebut-sebut berasal dari negara China ini sangat mempengaruhi hasil jualan mereka. Agar bisa menjangkau sedikitnya banyak orang pembeli, mereka sering mempromosikan barang dagangan mereka melalui media sosial.

“Penghasialnnya per hari kadang bisa dapat 50 rb, kadang 70rb, kadang 100 rb. Itu juga buat makan doang, belum bayar rumah, belum segala macam, buat putarin modalnya lagi,” tuturnya.

“Jadi kalau untuk mau bayar rumah atau token listrik, air dan segalam macam itu harus ngutang dulu buat nutupin semuanya. Kalau gak ngutang, nanti rumahnya gak ke bayar.”

Vivi bersama suaminya saat ini sedang mencicil sebuah rumah setelah menikah beberapa tahun lalu. Rumah itu harus di bayar 1,1 juta per bulan selama 15 tahun. Baru terbayar 3 tahun sejak mereka tempati. Sedang biaya untuk lunasi rumah didapat dari kerja di pabrik. Namun, karena saat ini sedang terancam dari perusahaan, mereka harus berusaha sekuat tenaga membayarnya.

“Yang bikin pusing itu pas mau bayar rumah, mau tidak mau harus ngutang, minjam. Di tambah lagi karena punya adek, bantu biaya sekolah adek juga. Untuk sekarang ini gak bisa ngasi karena belum dapat gaji,” akunya.

Baca: Peringati Hari Buruh di Tengah Pandemi, Buruh Bentangkan Tuntutan di Depan Pabrik

“Ternyata susah juga cari uang (dengan berdagang dalam kondisi pandemi), seribu aja cari susah. Makan kita harus ngirit sebisa mungkin, yang penting bisa makan,” tambahnya.

Selain Vivi, banyak pekerjaan serupa yang diemban buruh-buruh PT. Alpen Food Industry . Mereka menjajakan takjil dalam bulan Ramadhan, baik itu kue, hingga makanan untuk menu buka puasa dan sahur.

Perjuangan Tak Pernah Surut

Hmpir semua buruh-buruh di pabrik Aice yang lagi mogok kerja semuanya pada jualan. Walau mogok mereka terhalang karena pandemi, perjuangan menuntut kesejahteraan dan kelayakan pekerjaan tak pernah surut.

“Kalau mau bilang kecewa, gak juga. Gak begitu kecewa. Soalnya kan ini udah konsekuensi, dari awal sebelum kita mogok dan ini resiko terburuknya, terpahitnya selama kita menjalani mogok, bahwa kita tahu kalua semisalnya mogok tidak bakalan diupah,” tutur Iis, salah satu buruh yang kini juga jualan memenuhi kebutuhan hidup.

Baca juga: Omnibus Law Cipta Kerja Memperburuk Nasib Buruh Outsoucing

Dia berharap agar perusahan PT. Alpen Food Industry yang terletak di kawasan industri, lokasi di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat itu bisa memenuhi semua tuntutan mereka dan ada perbaikan sistem kerja.

“Sekarang intinya sabar, terus sabar sampai perusahaan mau memenuhi tuntutan kita dan sampai kita bisa menang, bias masuk kerja kembali,” tambah Iis.

Berdasarkan informasi yang diterima dari Serikat Gerakan Buruh Bumi Indonesia (SGBBI) PT. Alpen Food Industry, sekitar 600 orang buruh yang tengah berjuang bersama melakukan mogok kerja. Mogok Kerja ini sebagai akibat dari gagalnya perundingan dengan pengusaha terkait kondisi kerja dan perbaikan upah, salah satunya terkait diskriminasi terhadap buruh perempuan yang dipekerjakan pada malam hari.

Panji Novembri, pengurus SGBBI, mengatakan, walau ditengah pandemi COVID-19, mereka tetap terus melakukan kampanye melalui media sosial terkait buruknya kondisi kerja di pabrik.

“Sampai sekarang, kita masih kampanye. Dan akan terus serukan #BoikotAice sampai tuntutan kami terpenuhi,” kata Panji pekan lalu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *