Mudik mengeluarkan biaya ekstra untuk membayar transportasi dan menyenangkan keluarga di kampung. Lebaran juga berarti harus sedia opor ayam, baju baru dan kue lebaran.
Belum lagi, masyarakat di kampung menganggap mereka yang bekerja di kota telah sukses secara finansial. Berlomba-lomba mereka yang pulang kampung memamerkan barang-barang yang menjadi ukuran kesuksesan: pakaian bagus, gadget, bahkan mobil. Ada semacam rasa minder yang terbersit di dalam hati buruh yang tak punya semua kemewahan itu.
Kondisi seperti ini membuat buruh sangat mengharapkan Tunjangan Hari Raya (THR) dari pengusaha. Adanya THR, tidak mampu membuat buruh membeli barang mewah, tapi paling tidak menutupi biaya ekstra yang harus dikeluarkan saat lebaran. (Baca juga: Asal-Usul Persatuan Buruh dan Petani Karawang)
Banyak pengusaha tak mau tahu soal itu. Mereka tidak memberikan THR sesuai amanat hukum yang berlaku. Buktinya, Posko Pengaduan THR Jawa Timur mencatat terjadi 14.673 pelanggaran pembayaran THR. Gara-gara THR tidak dibayar, 500 buruh ausol sepatu dan sandal PT Rukun Jaya Solindo Tangerang melakukan aksi mogok kerja di depan pintu gerbang perusahaan, Senin (21/7/2014). Begitu juga ratusan buruh PT Gentong Gotri di Semarang yang menggelar aksi di halaman pabrik, Kamis (24/7/2014). Bahkan, sampai dengan H-3 lebaran, 8000 buruh Jatim belum dapat THR. (Baca juga: KPBI Himbau Buruh Tak Kerahkan Massa ke KPU)
Begitu besarnya keinginan seorang buruh untuk mudik ke kampung bersama keluarga. Bukan salah Totok Hariyadi, seorang buruh pabrik benang asal Tangerang, jika ia terpaksa menjambret lantaran THR belum cair. Naas, sebutir peluru polisi bersarang di kaki kirinya, Rabu (16/7/2014).
“Mau mudik enggak punya uang,” ucap Totok, lirih menahan sakit.
Anggota Komisi IX DPR Rieke Diah Pitaloka menyebutkan ada banyak pol dan modus pelanggaran pembayaran THR yang dilakukan oleh pengusaha.
“Pekerja/buruh kontrak outsourcing, maupun harian lepas tidak diberi THR disebabkan status kerjanya yang bukan pekerja tetap. Ini sering dijadikan alasan. Modus lain THR dibayarkan kurang dari ketentuan, dengan alasan perusahaan tidak mampu. Kemudian pekerja/buruh yang dalam proses perselisihan PHK sering tidak dibayarkan THRnya,” kata Rieke, Senin (21/7/2014), dilansir dari jpnn.com.
Berdasarkan Permenaker No Per-04/MEN/1994 tentang THR Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan, disebutkan bahwa pengusaha harus memberikan THR kepada buruh yang telah bekerja lebih dari tiga bulan secara terus-menerus paling lambat tujuh hari sebelum lebaran. Jadi, buruh berstatus kontrak, outsourcing, harian, dan borongan pun berhak mendapatkan THR jika telah bekerja selama tiga bulan secara terus menerus.
Buruh yang sudah bekerja selama 12 bulan berhak atas THR sebesar satu bulan upah, sementara buruh yang bekerja lebih dari tiga bulan tapi kurang dari 12 bulan berhak mendapatkan THR secara proporsional dengan perhitungan: masa kerja/12 x besaran satu bulan upah. (*)