Buruh dan Kemerdekaan Indonesia

laskar buruh indonesia
Parade Laskar Buruh Indonesia, tanpa tahun
sumber: Arsip Nasional Den Haag

(Jafar Suryomenggolo*)

Tiap bulan Agustus kita rayakan kemerdekaan bangsa. Ada dengan ikut lomba lari karung. Sibuk pula mengincar-incar hadiah dari panjat pinang. Tak kalah pula, kita ikut merayakan dengan memasak aneka kue. Kalau rekan cukup beruntung, bisa pula menikmati bubur merah-putih. Tak semua buruh bisa menikmati ini. Kebanyakan malah mesti kerja lembur di hari libur ini.

Meski demikian, merayakan ataupun bekerja, buruh selalu diingatkan kisah-kisah pahlawan. Mengorbankan jiwa-raga dan hidup pribadi demi kemerdekaan semua. Sekecil apapun sumbangannya, kaum buruh diingatkan untuk menghargai jasa-jasa mereka.

Kisah-kisah pahlawan dan kemerdekaan Indonesia memang penting. Ini membentuk apa yang kita sebut sebagai kebangsaan. Tapi siapakah yang bisa kita sebut “pahlawan”? Apakah mereka yang jazadnya dikubur di Taman Makam Pahlawan Kalibata di Jakarta? Apakah mereka yang namanya masuk dalam buku teks Sejarah yang wajib dihafal oleh anak-anak kita di bangku sekolah?

Jika kaum buruh boleh menunjuk, adakah calon yang bisa kita ajukan sebagai “pahlawan”? Siapakah yang bisa dijadikan panutan sebagai “pahlawan”?

Pertanyaan ini mungkin sulit kita jawab. Bisa jadi, tidak ada juga jawabannya di dalam buku teks Sejarah. Apakah ini berarti kaum buruh tidak punya pahlawan? Atau, apakah pahlawan kita tidak ada yang pernah jadi buruh? Dan, apakah kaum buruh tidak punya andil dalam kemerdekaan?

Buruh dan perjuangan kemerdekaan

Gerakan buruh punya andil dalam perjuangan kemerdekaan. Serikat buruh pada zaman Belanda memang awalnya didirikan oleh dan dibentuk untuk warga Belanda. Kesenjangan sosial-politik rasial memang masih kuat. Ini di awal abad 20. Tapi, ini tidak lama. Kondisi mulai berubah dengan cukup cepat. Tahun 1905, serikat buruh kereta api (milik perusahan negara) mulai membuka keanggotaan bagi buruh pribumi. Maklum saja, karena memang perusahaan kereta api banyak memperkerjakan buruh pribumi daripada buruh Belanda.

Langkah ini langsung diikuti oleh serikat buruh kereta api milik perusahaan swasta. Yaitu, VSTP (serikat buruh dan tram). Dengan ini, VSTP justru berkembang lebih pesat. Juga, menjadi lebih besar. Buruh pribumi di perusahaan kereta api milik negara malah bergabung dengan VSTP. Di tahun 1908 pada saat berdirinya, VSTP memiliki anggota 200 buruh Eropa dan 10 buruh pribumi. Tahun 1914, memiliki anggota 1500 buruh Eropa dan 900 buruh pribumi. Tahun 1917, memiliki anggota 700 buruh Eropa dan 3000 buruh pribumi. Jelas, VSTP semakin berakar di kalangan buruh pribumi.

Dalam kondisi penjajahan Belanda pada masa itu, situasi politik diatur sepenuhnya oleh Gubernur Jendral. Tidak ada kebebasan. Baik secara sosial, juga berpendapat. Terlebih pula, diskusi politik. Karena itu pula, serikat buruh menjadi lembaga utama bagi warga pribumi untuk belajar politik – sama pula halnya seperti yang kita rasakan di abad 21 ini, bukan? Pada masa itu, serikat buruh mengajarkan buruh pribumi apa arti organisasi, pentingnya bersatu dalam serikat, bagaimana mengumpulkan anggota dan juga, memperjuangkan tuntutan. Termasuk pula, tuntutan kemerdekaan. Karena itu pula, pemerintah kolonial Belanda mulai mengawasi ketat perkembangan serikat buruh. Terutama, serikat buruh VSTP. Secara khusus, ketua VSTP yaitu: Semaun.

Semaun merupakan figur penting dalam VSTP. Dan dalam perjalanan organisasi, juga penting dalam perjuangan buruh menuntut kemerdekaan. Sebagai buruh kereta api, Semaun belajar otodidak. Bukan dari bangku sekolahan, melainkan dari pengalaman hidup dan bekerja sebagai buruh. Semaun juga menerbitkan koran bagi buruh. Yang pertama dalam sejarah. Bukan dalam bahasa Belanda, seperti kebanyakan koran pada masa itu, yang semata-mata punya pasar kelas elit. Tapi, dalam bahasa Melayu, agar langsung dapat berkomunikasi dengan buruh pribumi umumnya. Isinya banyak tentang kehidupan nyata para buruh dan tindakan semena-mena pengusaha.

Di dalam perkembangan VSTP, organisasi buruh menjadi besar bersama Semaun. Di tahun 1920, tuntutan kenaikan upah di kalangan buruh kereta api sudah ramai disuarakan. Ini karena memang buruh pribumi tidak memperoleh upah layak, dan bekerja lembur tanpa upah. Di dalam perundingan dengan pengusaha, tuntutan upah kerap disepelekan. Karena itu pula, Semaun mengancam akan melancarkan pemogokan jika pengusaha menolak berunding. Mengingat pentingnya kereta api sebagai alat transportasi pada masa itu, pemerintah kolonial langsung turun tangan. Semaun “diamankan”. Alias, ditangkap. Seketika keesokan harinya, 8 Mei 1923 seluruh buruh kereta api langsung mogok. Ini menjadi pemogokan terbesar yang pernah ada di dalam sejarah.

Yang penting dari pemogokan ini adalah, telah ada terbangun kesadaran politik di kalangan buruh kereta api. Mereka tidak sekedar ikut-ikutan saja. Tapi, menyadari penuh bahwa penghidupan mereka merupakan bagian dari tuntutan bersama. Meski kemudian, mereka semua diPHK dan tidak bisa kerja sekalipun di perusahaan kereta api lainnya.

Kisah pemogokan buruh VSTP merupakan episode penting dalam sejarah kebangsaan kita. Pemogokan buruh adalah aksi-massa pertama yang didasarkan pada kesadaran politik. Ini pula yang membuat pemerintah kolonial ketar-ketir karenanya. Juga pula, yang membuat Soekarno mulai berani bersuara. Di tahun 1933, Soekarno bahkan mengajukan pertanyaan: “Bolehkah Sarekat Sekerdja Berpolitik?”

Buruh di masa awal kemerdekaan

Pengalaman di masa perjuangan tahun 1920-an sampai 1930-an ini membentuk kesadaran yang mendalam. Pada masa pendudukan Jepang, serikat buruh memang dilarang. Tapi bukan berarti, tidak ada. Banyak penggiat buruh yang aktif dalam gerakan bawah tanah menentang penjajah Jepang.

Di masa awal kemerdekaan Indonesia, beberapa saat setelah proklamasi 17 Agustus 1945, buruh telah aktif kembali. Serikat buruh adalah organisasi pertama yang langsung bergerak. Yang mereka lakukan adalah, menjaga stasiun kereta, pabrik dan perkebunan yang ada. Agar, tidak jatuh ke tangan penjajah Belanda lagi. Ini karena penjajah Belanda telah melancarkan aksi militer guna merebut aset-aset ekonomi tersebut. Wilayah yang diserang tentara Belanda adalah wilayah perkebunan penting, pabrik besar dan juga, stasiun kereta utama.

Jadi, selama bulan September 1945 sampai sekitar pertengahan 1946, serikat buruh telah berjasa dalam menjalankan fungsi-fungsi stasiun kereta, pabrik dan perkebunan sebaik-baiknya. Meski pada masa itu, para buruh kerap tidak menerima upah tetap karena adanya blokade dan kesulitan ekonomi. Ini semua dilakukan buruh dengan kesadaran penuh bahwa pengorbanan mereka adalah bagian dari perjuangan kemerdekaan bangsa.

Di dalam perkembangannya, buruh mampu mengatur dan menguasai stasiun kereta, pabrik dan perkebunan secara independen. Sayangnya, sikap independen buruh ini justru dicurigai oleh pemerintah pusat. Maklum saja, pemerintah saat itu masih bayi dan belum stabil, jadi tindakan independen masyarakat-sipil dianggap menggerogoti wibawa pemerintah. Juga, hal ini diberi label sebagai “anarkis-sindikalis”. Label yang justru merugikan perjuangan kaum buruh. Karenanya pula, pemerintah mulai mengawasi kegiatan serikat buruh dan secara pelan-pelan, menggeser serikat buruh dari kancah politik nasional.

Menulis-ulang sejarah kemerdekaan

Buruh dan serikat buruh punya andil dalam kemerdekaan bangsa. Baik dalam perjuangan kemerdekaan di awal abad 20, maupun di dalam mempertahankan kemerdekaan di masa awal kemerdekaan 1945. Kaum buruh bukan hanya sebagai pelaku pelengkap dalam sejarah kemerdekaan. Tapi juga menjadi pelaku utama.

Sayangnya, andil dan peran kaum buruh sering tidak diakui. Juga, tidak dimuat dalam buku sejarah kita. Sejarah kita penuh dengan “pahlawan” yang semata-mata diakui oleh negara. Tapi seakan-akan lupa bahwa serikat buruh ikut membangun kesadaran politik berbangsa dan juga, ikut aktif mempertahankan kemerdekaan secara langsung. Boleh jadi, kita perlu menulis-ulang sejarah nasional bangsa Indonesia berdasarkan dari pengalaman dan kehidupan nyata kaum buruh. Tidak melulu berdasarkan kisah-kisah beku para “pahlawan”.

pendirian sobsi
Sumber: Buletin SOBSI, Tahun 2, no. 13-15 (1955).

Buruh digambarkan berjuang berdampingan dengan tentara-rakjat mempertahankan kemerdekaan dengan bambu runcing, melawan tentara Belanda dengan alat berat dan tank. Perhatikan di bagian latar, terdapat gambar pabrik dan perkebunan yang direbut dan dipertahankan oleh kaum buruh, bertuliskan “Hak Milik Republik Indonesia”, sebagai simbolisme kesetiaan kaum buruh pada kemerdekaan bangsa. Sementara itu di bagian depan, terdapat gambar buruh yang berserikat, yaitu dalam kongres pertama SOBSI di Malang (1947).

(* Penulis adalah pemerhati perburuhan)

Tinggalkan Balasan