Jakarta – Ribuan massa buruh dan mahasiswa memadati depan Gedung DPR, 16 Juli 2020, menuntut penolakan terhadap Omnibus Law yang akan menyengsarakan buruh dan rakyat. Omnibus Law merupakan bentuk serangan yang terang-terangan terhadap kehidupan rakyat.
Dalam orasinya, seorang aktivis menyatakan Omnibus Law adalah peraturan pesanan borjuasi (kapitalis) yang menguasai parlemen melalui partai-partai sebagai perpanjangan tangannya. Tidak mengherankan jika Omnibus Law atau yang dikenal sebagai RUU Cipta Kerja ini hanya mengakomodir kepentingan pengusaha dan investor.
Saiful Anam, Ketua Federasi Serikat Buruh Demokratik Kerakyat (FSEDAR), menolak Omnibus Law karena akan menghilangkan kepastian kerja untuk rakyat.
“Dalam naskah akademiknya, buruh nanti semuanya adalah PKWT,” tandasnya.
Dia juga mengaku kecewa karena Omnibus Law akan melanggengkan praktik outsourcing di semua bidang pekerjaan dan kerja kontrak tanpa batas waktu yang juga di semua bidang pekerjaan. Pemerintah beralasan penggunaan outsourcing karena digunakan juga di negara-negara lain, yang merupakan bukti negara tidak memiliki kepribadian.
Saiful juga meminta massa aksi agar mendukung perjuangan buruh es krim AICE, dengan tetap memboikot es krim AICE sampai dengan tuntutan buruh dipenuhi.
Seorang buruh korban pemutusan hubungan kerja (PHK) PT. Fajar Mitra, Kiki Chandra, menolak Omnibus Law karena semakin menyengsarakan rakyat. Dirinya adalah korban dari sistem kerja kontrak (PKWT) berkepanjangan yang telah berjuang selama dua tahun, namun belum juga mendapatkan keadilan.
“Di mana keadilan? Kami dikalahkan…ini belum ada Omnibus Law, gimana nanti jika disahkan?” tutur Kiki.
Buruh outsourcing AICE mengisahkan perjalanannya sebagai buruh outsourcing dari Jawa Timur yang dibawa dengan bus menuju ke pabrik AICE di Cikarang. Dia harus menaiki bus penuh sesak, yang berkapasitas 60 orang, tetapi digunakan untuk memuat 75 buruh outsourcing.
“Sampai di Bekasi, saya ditaruh di mess yang isinya sampai 40 orang…upah saya juga dipotong sampai Rp2 juta,” kisahnya.
Elita, buruh AICE yang menjadi korban cuti haid dipersulit, berorasi menuturkan kisahnya yang ditolak oleh pengusaha saat mengajukan cuti haid. Padahal, dia selalu merasa sakit saat haid, namun pengusaha tidak memberikan cuti haid dan memutasi dia ke bagian kerja yang lebih berat.
“Saya sampai harus dioperasi,” katanya. Dia menderita penyakit endometriosis, yang merasakan sakit saat haid, tetapi pengajuan cuti haid selalu ditolak dan hanya diberikan obat penahan sakit.
Permasalahan lain yang mengemuka adalah kasus keguguran di pabrik AICE yang mencapai 20an kasus sejak tahun 2019. Buruh perempuan hamil masih dipekerjakan pada malam hari dan mengikuti target yang ada.
Sarinah, Juru Bicara FSEDAR, mengingatkan buruh terhadap bahaya yang akan dihadapi jika Omnibus Law disahkan menjadi undang-undang. Pekerjaan outsourcing diperbolehkan di semua bagian, pekerjaan kontrak (PKWT) tanpa batasan, upah minimum kabupaten/kota (UMK) yang mudah dilanggar karena tidak diikat sanksi pidana, uang pesangon berkurang sampai dengan kemudahan PHK dengan menggunakan surat peringatan 1, 2 dan 3.
“Omnibus Law akan sangat-sangat menyengsarakan kaum buruh, sehingga harus kita tolak. Jika kita tidak bisa menolaknya, maka kita akan menghadapi kondisi kerja yang berat dan perlawanan yang lebih sengit dalam melawan negara dan pemodal. Buruh tidak perlu takut lagi, karena toh ke depannya tidak ada jaminan pekerjaan. Kita lawan tanpa perlu takut PHK,” tandasnya.
Penting sekali ke depannya membangun partai buruh untuk memperjuangkan kepentingan buruh itu sendiri. Sebab, sudah terbukti partai-partai yang ada hanya memperjuangkan kepentingan para pemodal dan elite politik saja.
Sementara itu, aktivis mahasiswa menyuarakan komersialisasi pendidikan di bawah Omnibus Law akan mencekik mahasiswa. Di saat sekarang saja, Uang Kuliah Tunggal (UKT) menjadi beban yang berat di masa pandemi, karena kampus tidak memberikan keringanan pembayaran UKT.
Kelompok pelajar juga hadir untuk menyuarakan nasib mereka yang akan semakin sulit jika Omnibus Law disahkan karena orang tua mereka akan terdampak. Biaya pendidikan yang semakin mahal tentunya akan semakin sulit dibiayai jika upah orang tua para pelajar ini, semakin murah dan tidak memiliki pekerjaan yang pasti.
Aksi memang dilakukan oleh berbagai elemen, di antaranya Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK), FSEDAR, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari berbagai kampus, pelajar, kelompok anarko, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan individu-individu yang datang karena merasa terpanggil. Aksi diwarnai beberapa kericuhan akibat dari tembakan water canonĀ aparat keamanan.
Selain itu, ada juga aksi kelompok yang menolak RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang terpisah dari kelompok buruh dan mahasiswa.