Omnibus Law atau Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja dipandang berisiko memperparah kesewenangan korporasi di Papua, sebagaimana disampaikan dalam diskusi yang diselenggarakan Lao-Lao TV, Sabtu (25/7/2020).
“Papua saat ini mengalami banyak persoalan, misalnya saat ini Otsus Jilid II, pelanggaran Hak Asasi Manusia, dan lain sebagainya….tanpa mengesampingkan beberapa isu krusial itu yang sebenarnya juga akan punya dampak luas di Papua dalam hemat kami Omnibus Law akan berdampak buruk bagi masyarakat, bukan cuma masyarakat adat, tapi semua sektor baik itu (pekerja) di pemerintahan (termasuk ASN), maupun kalangan buruh,” tutur Yason Ngelia, moderator diskusi dari laolao-papua.com.
RUU Cipta Kerja menyangkut upah, kontrak kerja dan menyangkut izin investasi yang mungkin hari ini diambil alih oleh pemerintah melalui rancangan undang-undang itu. Undang-undang itu akan sangat berbahaya jika hari ini misalnya telah dibahas dalam program nasional, disetujui DPR RI, dan diterapkan di seluruh Indonesia akan berdampak kepada kesejahteraan kita di Papua.
Franky Samperante, dari PUSAKA, lembaga nirlaba riset dan pendampingan masyarakat adat, mengemukakan, “…Negara menggunakan kekuasaan untuk menertibkan, mengontrol, mendisiplinkan, dan mengelola sumber daya alam dan sumber daya lainnya termasuk tenaga kerja untuk mencapai tujuan rezim yang berkuasa hari ini.”
Menurutnya, dilihat dari struktur yang berkuasa hari ini, rezim adalah rezim pro-kapital. Omnibus Law digunakan untuk melayani kepentingan penguasa modal. Penciptaan lapangan kerja seharusnya menjadi tanggung jawab negara, tetapi dialihkan menjadi tanggung jawab individu, atau korporasi. Ini dikenal sebagai privatisasi tanggung jawab. Jadi ada pengalihan tanggung jawab dari negara ke badan usaha atau kelompok dan individu-individu tertentu. Hal ini terjadi secara sistematis melalui badan-badan negara, termasuk lembaga legislatif.
Apa dampaknya terhadap tenaga kerja dan masyarakat adat?
Omnibus Law akan berdampak pada ketentuan upah minimum yang berpotensi dihapus, perluasan outsourcing dan sistem kontrak yang akan semakin memperburuk ketidakpastian kerja.
“Buruh PT Freeport kebanyakan mereka tidak punya kepastian karena posisi dan status mereka sebagai buruh outsourcing. Jangankan buruh outsourcing, buruh yang sudah jelas kontraknya dan ikatan kerjanya punya kepastian kerja juga bisa diperlakukan seperti itu. Dengan Omnibus Law itu sendiri status outsourcing itu membuat hak-hak mereka semakin tidak bisa dipenuhi, termasuk hak atas jaminan sosial tenaga kerja, seperti kesehatan,” jelas Franky, mencontohkan.
Lebih jauh lagi, Franky memaparkan, Omnibus Law berisiko memperparah jurang kesenjangan dan diskriminasi antara buruh lokal dengan pekerja level atas yang didatangkan dari luar negeri.
“…Jadi dalam kultur bekerja ada prioritas untuk tenaga kerja asing dari luar. Di Papua misalnya di perusahaan pertambangan dan kelapa sawit, posisi TKA semakin banyak, berada posisi manager atau pemimpin proyek di lapangan dan budaya kerja yang tidak mengerti situasi lokal, dan kemudian seringkali terjadi diskriminasi terhadap pekerja lokal,” tuturnya.
Dalam hal status kerja, pekerja TKA memiliki ikatan kerja yang lebih jelas dibandingkan tenaga kerja lokal yang bekerja di level yang kurang jelas ikatan kerjanya.
“Misalkan, di sektor perkebunan untuk buruh pemanen atau buruh pengawasan lahan itu banyak melibatkan banyak orang dan itu posisi paling rendah, melibatkan banyak tenaga kerja lokal setempat, serta banyak mengalami diskriminasi. Para pemimpin level manager dikendalikan orang asing dengan ikatan kerja dan bisa lebih dihormati. Juga di sektor tambang di Papua,” keluhnya.
RUU Cipta Kerja, seperti yang dapat dilihat dalam Pasal 6, bertujuan menyederhanakan peraturan untuk kepentingan kemudahan berinvestasi dan juga mengakomodasi proyek-proyek strategis nasional. Sebagaimana kita ketahui bahwa pemerintahan Jokowi mempunyai proyek-proyek strategis nasional yang tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Logika yang dipakai adalah selama ini proyek-proyek strategis nasional itu tidak berjalan lancar karena ada hambatan-hambatan struktural atau secara horizontal yang membuatnya tidak berjalan baik. Sehingga dibuatlah peraturan baru, yaitu Omnibus Law (RUU Cipta Kerja) untuk menertibkan atau mendisiplinkan gangguan-gangguan atau hambatan-hambatan terhadap proyek-proyek strategis nasional atau pembangunan-pembangunan untuk pertumbuhan ekonomi, yang mengorbankan kelestarian alam dan kesejahteraan rakyat pekerja.
“Sebelumnya dalam ketentuan lingkungan dalam UU Perlindungan Lingkungan itu diatur soal sanksi pidana. Namun sekarang dalam RUU Cipta Kerja ini, ketentuan terkait dengan sanksi pidana terhadap perusahaan-perusahaan itu diganti dengan hanya pemberian sanksi hukum admnistratif,” paparnya.
Yang kita lihat sanksi hukum administratif tidak banyak memberikan efek jera ya karena bersifat administratif saja, Tidak cukup tegas dan keras. Sanksi administratif juga bias kelas sosial karena pemberian sanksi administratif demikian meringankan pengusaha di satu sisi sedangkan di sisi lain mengandung ancaman kriminalisasi semakin tinggi terhadap buruh dan rakyat.
Bagaimana dengan masyarakat adat?
Karena RUU Cipta Kerja ini selain mengatur ketenagakerjaan juga mengatur persoalan keberadaan korporasi juga aset produksinya yaitu tanah atau lahan atau sumber daya di sektor hulu yang menyangkut alat produksi pengembangan usaha. Dalam konteks Papua, lahan, tanah, dan hutan di Papua dimiliki masyarakat adat berdasarkan hukum adatnya. Namun, pengakuan negara atas hak atas tanah, sampai saat ini belum ada. Berbeda dengan status hak guna usaha yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan itu jelas ada.
Status hak izin pertambangan yang diberikan ke korporasi jelas berapa hektar, dimana, tempatnya, siapa pemiliknya, jika dibandingkan masyarakat adat Papua, jelas legalitas kepemilikan korporasi lebih kuat. RUU ini jelas memprioritaskan kepentingan korporasi dalam melakukan akumulasi kapital, sedangkan masyarakat adat tidak punya kekuatan hukum terkait hak atas tanah dan alam lainnya, sehingga dengan mudah korporasi menggunakan negara tadi untuk mengambil alih hak atas tanah.
Padahal sebelumnya, menurut Frecky Mobalen, dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sorong Raya, UUD 1945 pasca amandemen, Pasal 18 B menyatakan negara mengakui dan menjamin dan menghormati masyarakat adat ketika masyarakat adat itu ada.
“Selanjutnya dalam Putusan No. 35/PUU-X/2012 Mahkamah Konstitusi menegaskan hutan adat adalah hutan yang berada di dalam kawasan atau wilayah masyarakat adat dan itu bukan milik negara. Namun Omnibus Law, menurutnya, tidak mengakui hal itu,” kata Frecky.
Menyambung Frecky, Beni Magal dari Masyarakat Adat Independen (MAI), mengemukakan bahwa meskipun Omnibus Law menyederhanakan, tapi malah membuat persoalan-persoalan baru karena menghilangkan beberapa peraturan dalam masyarakat adat. Masyarakat adat sendiri pun tidak dituangkan atau tidak direpresentasikan dari Omnibus Law ini.
“Sangat sentralistik. Semua ke pusat. Sehingga secara prosedur UU ini mengakibatkan lembaga-lembaga adat tidak diakui dan membuat atau melahirkan konflik-konflik baru karena disitu bagaimana posisi pemeritah daerah, masyarakat adat, tidak direspon,” Beni.
Dalam RUU Cipta Kerja tidak dijelaskan bagaimana representasi masyarakat adat untuk diakui, sedangkan di Papua, masyarakat adat adalah kelompok yang paling dominan dan ada di semua wilayah di Papua.
“Kemudian ada beberapa RUU yang berdampak juga ke masyarakat adat atau bagaimana terkait kebijakan-kebijakan memperluas wilayah produksi, bagaimana memperluas wilayah operasi, dan periode waktu berapa lama perusahaan itu beroperasi itu tidak melibatkan orang-orang yang punya tempat, dan kita bisa lihat kejadian-kejadian di tempat saya sudah banyak,”
Frecky menambahkan bahwan pemerintah memandang investasi belaka yang bisa memberikan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Padahal faktanya investasi itu yang justru menjadi ancaman terbesar bagi masyarakat adat bukan hanya di Papua, namun juga di Indonesia secara keseluruhan.”
“Investasi itu akan jatuh di tengah-tengah wilayah masyarakat adat. Hutan masyarakat adat, gunung masyarakat adat, kali masyarakat adat, pantai masyarakat adat. Secara tidak langsung memberi peluang ancaman marginalisasi, peminggiran, pemusnahan, bahkan konflik-konflik horizontal akan terjadi saat Omnibus Law ini akan disahkan,” Frecky memperingatkan.
(Penulis adalah aktivis, tinggal di Malang)
