Buruh Diancam Penjara 6 Tahun dengan UU ITE, Kriminalisasi Terus Berlanjut

0

Ayo bersolidaritas kepada buruh dan aktivis yang dikriminalisasikan oleh negara!

Saiful dan Dado, buruh yang bekerja di PT Nanbu Plastic Indonesia, terancama akan dipenjara selama 6 tahun. Saiful telah mendapatkan surat panggilan dari kepolisian resort Kabupaten Bekasi untuk diperiksa sebagai saksi. Surat panggilan pertama mengandung cacat di mana terdapat kesalahan nama, kesalahan alamat dan tidak mencantumkan nama pelapor.

Surat panggilan kepolisian dialamatkan ke pabrik tempat Saiful bekerja, padahal seharusnya ke alamat rumah.  Bagi kami, ini adalah upaya untuk melakukan intimidasi terhadap anggota Serikat Buruh Bumi Manusia (SEBUMI) PT Nanbu Plastics Indonesia di mana Saiful menjadi ketuanya.
Setelah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta melayangkan surat protes ke Polres Kabupaten Bekasi, kepolisian melayangkan surat baru dengan perbaikan nama dan alamat. Namun, surat panggilan tersebut tetap saja tidak mencantumkan nama pelapor. Buruh bersama LBH Jakarta mendatangi Polres Bekasi sebanyak dua kali pada tanggal 29 Februari dan 17 Maret 2016 untuk memprotes kejanggalan-kejanggalan. Saiful diancama dengan pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE:

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” (pasal 27 ayat (3) dengan ancaman hukuman penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 milliar. Jika perusahaan berhasil membuktikkan Saiful mengakibatkan kerugian bagi perusahaan, maka ia diancam penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda maksimum Rp 12 milliar.

Kepolisian menggunakan status Facebook Saiful tertanggal 30 November 2015 sebagai bukti terjadinya pencemaran nama baik.

“Kartini, ya Kartini bagian QC PT. Nanbu, telah diusir secara paksa oleh orang-orang yang dibutakan hatinya,ia hanya menuntut apa yang tertuang di Undang Undang, ia tetap tegar dan tetap akan melawan akankah kalian diam wahai Buruh Nanbu atas ketidak adilan ini? apakah kalian sudah tinggal di surga yang didalamnya tidak ada anak yatim, bahkan pengemis yang mengusik. Bukankah kalian pernah merasakannya ? Aku tunggu aksi-aksi kalian, besok ada solidaritas ke PT. Hitech untuk pembebasan buruh kontrak, aku turut serta kalian bagaimana?”

Kartini, adalah seorang buruh perempuan yang bekerja di PT Nanbu. Ia melaporkan perusahaan ke Dinas Tenaga Kerja setempat untuk kasus pelanggaran penempatan buruh kontrak. Dalam proses pelaporan tersebut, ia dikeluarkan dari perusahaan karena kontrak kerjanya habis. Serikat pekerja memperjuangkan Kartini harus tetap dapat bekerja di pabrik sampai dengan dapat dibuktikan perusahaan tidak melanggar aturan. Sementara itu, status Facebook Dado yang juga membela Kartini dipermasalahkan oleh perusahaan dan akan segera dilaporkan ke kepolisian.

Kami menilai, kriminalisasi ini adalah upaya kapitalis yang bekerja sama dengan negara untuk menghalang-halangi perjuangan buruh dalam menuntut kesejahteraan, khusus yang menyangkut nasib buruh kontrak, buruh outsourcing, buruh magang dan buruh harian. 70 persen buruh di Kabupaten Bekasi berstatus sebagai buruh tidak tetap yang tidak memiliki kepastian kerja. Mereka rata-rata adalah buruh berusia muda 18-25 tahun yang bekerja menjalankan mesin-mesin pabrik secara bergantian selama 24 jam. Tenaga mereka menghasilkan keuntungan yang sangat besar untuk kapitalis dan pajak negara yang dapat mencapai 40 persen dari penjualan. Mereka mendapatkan diskriminasi dalam upah, tunjangan, bonus sampai dengan seragam dan tempat parkir di pabrik karena statusnya sebagai buruh kontrak itu. Sementara itu, mereka mengambil lembur yang sangat banyak untuk persiapan menghadapi kehilangan pekerjaan karena setelah usia 25 tahun, mereka tidak akan diterima lagi bekerja di pabrik, kecuali bersedia menjadi buruh kontrak berkepanjangan. Buruh kontrak juga tidak berani berserikat dan cenderung lebih patuh karena mereka dapat disingkirkan sewaktu-waktu dari pabrik tanpa pesangon.

Selain Saiful dan Dado yang dikriminalisasi, ada 23 buruh, dua aktivis pengabdi LBH Jakarta dan satu orang mahasiswa yang juga dikriminalkan terkait dengan aksi tanggal 30 Oktober 2015. Mereka dikenakan Pasal 216 dan Pasal 218 KUHP. Pasal 216 menyebutkan, barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan UU yang dilakukan pejabat tersebut, diancam pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak Rp9.000. Pasal 218 menyebutkan, barang siapa pada waktu rakyat datang berkerumun dengan sengaja tidak segera pergi setelah diperintah tiga kali oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam karena ikut serta perkelompokan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak Rp9.000. Saat ini, sudah 11 orang yang akan menjalani persidangan.

Diketahui dalam aksi 30 Oktober 2015, Gerakan Buruh Indonesia (GBI) melakukan aksi perlawanan terhadap PP No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. PP ini membatasi kenaikan upah hanya sebesar angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi versi Badan Pusat Statistik (BPS). Upah tahun 2016 naik hanya sebesar 11,5 persen saja.

Mengapa buruh yang dipukuli hingga luka-luka, mobil komandonya dirusak dan ditembaki dengan air mata–buruh yang menjadi korban, yang ditangkapi dalam keadaan luka-luka dalam aksi 30 Oktober 2015 lalu, malah dijadikan tersangka dan akan diproses hukum. Sedangkan polisi yang melakukan pemukukan malah tidak diapa-apakan.

Polisi merusak mobil komando milik buruh dalam aksi 30 Oktober 2015.

Sebelum kasus kriminalisasi buruh ini saja mencuat, LBH Jakarta bersama Gerakan Melawan Kriminalisasi (GERAM Kriminalisasi) mencatat 20 kasus kriminalisasi yang dilakukan oleh kepolisian untuk membungkam pimpinan KPK dan aktivis, termasuk yang menimpa Novel Baswedan, Abraham Samad dan Bambang Widjianto. Memang, kemudian Abraham Samad dan Widjianto berhasil dibebaskan tapi setelah mereka berhasil ditendang dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setelah 18 tahun reformasi, negara kembali menggunakan cara-cara Orba, dengan masif mengkriminalkan aktivis yang mengkritisi dan melawan kebijakan pemerintah.

Oleh sebab itu, kami menuntut dipenuhinya tuntutan*) mendesak kami, yakni:

  1. Kepada Jaksa Agung M. Prasetyo untuk menghentikan kriminalisasi terhadap Saiful, Eko, 23 buruh, pengabdi LBH Jakarta, mahasiswa, pegiat anti korupsi dan seluruh kasus kriminalisasi lainnya
  2. Jaksa Agung harus mampu independen dan menolak meneruskan praktik negatif rekayasa kasus (kriminalisasi) oleh kepolisian, menyangkut kewibawaan Kejaksaan sebagai penegak hukum dan penjaga keadilan di Indonesia.
  3. Melakukan reformasi di Kepolisian Republik Indonesia secara menyeluruh.
  4. Menghimbau kepada masyarakat sipil untuk bersama-sama melawan praktik kotor penegakan hukum dan kriminalisasi.
  5. Menyelamatkan Negara dari korupsi dan memastikan berjalannya agenda pemberantasan korupsi yang progresif.

Catatan:
* Tuntutan ini adalah formula tuntutan bersama dengan Geram Kriminalisasi yang sedikit dimodifikasi untuk konteks sekarang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *