Solidaritas.net. Kamis, 30 Agustus 2012, menjadi hari bersejarah bagi warga Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada tanggal itu, Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya mengesahkan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UUK DIY).
Pembahasan UUK DIY itu termasuk alot. Rancangan Keistimewaan DIY ini sudah dibahas oleh Komisi II DPR sejak periode 2004-2009. Namun pembahasan itu tak selesai dan dilanjutkan pemerintah dengan DPR periode 2009-2014.
Saat pengesahan Menteri Dalam Negeri saat itu Gamawan Fauzi lega karena pembahasan bertahun-tahun akhirnya selesai.
Pembahasan antara pemerintah dan DPR sempat alot menyoal tata kelembagaan pemerintah daerah, khususnya pembahasan soal penetapan Sultan sebagai gubernur.
Menurut Gamawan, pemerintah memberikan jalan tengah atas polemik terkait dengan penetapan Sultan sebagai gubernur. Meski sepakat dengan opsi tersebut, persyaratan Gubernur DIY berbeda dengan provinsi lain. “Syaratnya ketat, bahkan lebih berat dari gubernur lain. Tidak hanya dilarang menjadi pengurus partai, tapi juga anggota partai politik,” kata Gamawan dikutip dari Tempo.co.
Tujuannya jelas. Supaya Sultan tetap menjadi milik semua orang. Baik warga yang memilih dia ataupun yang tidak memilihnya. Pejabat publik tidak boleh membedakan warganya. “Tapi, kalau dia anggota partai politik, dia akan dibebani tugas partainya. Tidak fokus mengerjakan tugas untuk publik,” kata dia.
Topo Pepe
Seiring berjalannya waktu, harapan warga DIY kepada Sultan untuk menjadi milik semua orang masih tinggi. Pada Senin 31 Oktober 2016, puluhan buruh dan beberapa elemen menggelar aksi bisu dengan menjemur diri atau biasa disebut Topo Pepe di Alun-Alun Utara Kota Jogja tepatnya di depan Kraton Jogja. Aksi itu dilakukan sekitar satu jam.
Topo Pepe merupakan budaya Kraton Ngayogyakarta di mana rakyat jika ingin menyampaikan aspirasinya kepada Raja dilakukan dengan Topo Pepe tersebut.
Aksi digelar untuk menolak kenaikan UMK di DIY sebesar 8,5% seperti yang sudah diputuskan Pemerintah Pusat.
Sayangnya hasil Tapa Pepe itu tidak sesuai dengan yang diharapkan. Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan HB X yang juga sekaligus Gubernur DIY tidak bisa memenuhi permintaan buruh. Sultan memutuskan besaran Upah Miniman Kabupaten (UMK), Senin (31/10).
Hasilnya UMP DIY 2017 yaitu Rp1.334.645,25. Selain itu UMK Kota Jogja Rp1.572.200 naik Rp119.800. Kemudian, Kabupaten Sleman sebesar Rp1.448.385 naik Rp110.385. Untuk Kabupaten Bantul UMK sebesar Rp1.404.760 atau naik Rp107.060. Untuk UMK Kabupaten Kulonprogo Rp1.373.600 naik sebesar Rp104.730 dari tahun 2015. Dan yang terakhir Kabupaten Gunungkidul sebesar Rp1.337.650, naik Rp101.950 dari UMK tahun 2015.
Keluarnya angka itu secara umum hanya memberikan kenaikan antara Rp100.000 hingga Rp120.000 menyesuaikan Peraturan Pemerintah Nomor.78 tahun 2016.
Upah Sektoral
Tak pelak keputusan itu langsung diprotes kalangan buruh. “Kami menolak kebijakan penetapan itu. kami mendorong Gubernur untuk membuat upah sektoral,” kata Sekjen Alian Buruh Yogyakarta (ABY) Kirnadi, Senin (31/10).
Kirnadi mengatakan belum adanya upah minimum sektoral di DIY bertolak belakang dengan visi dan misi pemerintah yang di antaranya berkomitmen meningkatkan kesejahteraan buruh.
Apalagi mengacu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan gubernur memiliki kewenangan menentukan kebijakan upah minimum baik di tingkat provinsi maupun kabupaten masing-masing.
Kirnadi mengatakan, jika seluruh upah buruh hanya disamaratakan mengacu UMK, sama halnya meniadakan prinsip keadilan dalam mengupayakan kesejahteraan buruh.
Masalahnya, menurut dia, setiap buruh memiliki beban dan risiko yang tidak sama. Kirnadi mengaku kecewa jika usulan UMK Kota/Kabupaten di DIY hanya didasarkan pada nilai inflasi dan pertumbuhan ekonomi secara nasional. Alasannya, kata Kirnadi kenaikan harga kebutuhan pokok bagi buruh saat ini tinggi.
Sebagai contohnya, kata Kirnadi, harga gas 3 kg yang masih disubsidi pemerintah di sejumlah wilayah di DIY mencapai Rp25.000. Belum lagi harga kebutuhan sehari-hari lainnya yang didasarkan hasil survei ABY hamppir semuanya naik. “Survei KHL yang kami lakukan upah yang layak untuk buruh di Kota Jogja rata-rata Rp2 juta,” kata Kirnadi.
Sayangnya tuntutan buruh itu masih bertepuk sebelah tangan. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta belum berencana menetapkan upah minimum sektoral yang ditujukan untuk menunjang kesejahteraan buruh sesuai beban kerja yang didapatkan.
“Upah sektoral belum, itu nanti prosesnya panjang,” kata Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Daerah Istimewa Yogyakarta Andung Prihadi Santoso.
Menurut dia, penentuan upah minimum sektoral di DIY akan berbeda dengan mekanisme penentuan upah di daerah lainnya mengingat sektor usaha di DIY yang paling besar adalah sektor pariwisata dan pendidikan.
Sementara untuk pariwisata, menurut dia, akan membutuhkan pemetaan item sektor upah yang beragam yang mencakup sektor upah perhotelan atau kegiatan wisata lainnya.
Andung mengatakan, saat ini Disnakertrans DIY justru masih mengoptimalkan sosialisasi penerapan struktur dan skala upah kepada perusahaan yang diatur Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
Penyusunan struktur dan skala upah itu harus memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompentensi pekerja/buruh.
Penolakan Pemda DIY terhadap tuntutan buruh itu bisa dikatakan nasib buruh di DIY masih belum istimewa. Pengesahan Undang-Undang Keistimewaan DIY masih belum berimbas pada kesejahteraan buruh.**
Penulis: Febriana Sinta – Jurnalis, berdomisili di Yogyakarta.