Solidaritas.net- Buruh gendong adalah istilah yang disematkan kepada perempuan pekerja informal yang bekerja di sejumlah pasar tradisional di Kota Yogyakarta. Sesuai nama yang disematkan tugas mereka adalah membawakan barang belanjaan pembeli dengan cara digendong.
Seorang buruh gendong di Pasar Giwangan Yogyakarta (Sumber foto : Voaindonesia.com – fair use) |
Meski ada kata buruh, namun nasib buruh gendong di Kota Yogyakarta jauh lebih memprihatinkan dibandingkan buruh pada umumnya.
Sejumlah hak-hak bagi pekerja yang biasanya didapatkan buruh tidak dirasakan oleh buruh gendong.
Yaitu mendapatkan upah yang layak, tidak adanya standar upah, dan layanan kesehatan yang tidak memadai.
Padahal jumlah buruh gendong di sejumlah pasar di Kota Yogyakarta sangat banyak. Buruh gendong dari Pasar Beringharjo, Pasar Giwangan, Pasar Kranggan, dan Pasar Buah Gamping yang tergabung dalam Paguyuban Buruh Gendong “Sayuk Rukun” DIY tercatat ada ratusan orang.
Di Pasar Beringharjo tercatat sebanyak 250 orang, Pasar Giwangan 135 orang, Pasar Gamping 44 orang, dan Pasar Kranggan 13 orang.
Jumlah itu tentunya akan lebih banyak lagi karena masih ada buruh gendong yang belum masuk paguyuban. Jika buruh di seluruh Indonesia, merasakan Upah Minimum Provinsi atau Upah Minimum Kabupaten tidak demikian dengan buruh gendong.
Pendapatan yang mereka terima tergantung dari “belas kasihan” pengguna jasa mereka. Rata-rata buruh gendong mendapatkan upah Rp2.000,00 sekali gendong. Dalam sehari mereka bisa mengantongi Rp20.000,00 dan jika beruntung bisa sampai Rp50.000,00.
Dengan penghasilan yang diperoleh, mereka harus membayar kontrak rumah yang dihuni bersama buruh gendong dari luar kota. Selain itu uang mereka dipotong untuk biaya makan serta ongkos transportasi bagi buruh yang tinggal di sekitar Yogya.
Salah seorang buruh gendong di Pasar Beringharjo, Sarti mengatakan mereka hanya mengandalkan pendapatan mengangkut sayur dan barang kerajinan dari penjual, sedangkan dari pembeli jarang menggunakan tenaga mereka,
“Saya kebanyakan mengangkut sayur di pagi hari atau saat penjual hendak membuka kios. Saat ini jarang sekali ada yang belanja di pasar dalam jumlah yang besar. Jadi kami hanya bekerja penuh saat pagi hari,”ujar perempuan setengah baya asal Imogiri Bantul ini, Kamis(22/12).
Saat ini jarang perempuan muda yang memilih menjadi buruh gendong, pendapatan yang tidak pasti dan beban yang berat menjadi alasan utamanya.
Buruh gendong di pasar tradisional Yogyakarta didominasi oleh perempuan paruh baya yang berumur 40 tahun ke atas, padahal beban yang harus mereka gendong tidak ringan.
Mbah Rabiyem, perempuan yang telah berusia 60 tahun ini mengatakan , rata – rata mereka mengangkut mampu menggendong seberat 70 kilogram untuk sekali jalan.
“Ya apa saja saya angkut. Ada gula, sayur, beras, besek(tempat makan dari bambu), jeruk. Kalau tidak mau angkut terus mau makan apa?”, ujar mbah Rubiyem.
Untuk mendapatkan perhatian dari pemerintah, buruh gendong telah berulang kali melakukan aksi turun ke jalan dan mengadu ke wakil rakyat.
Namun, seruan mereka tidak pernah membuahkan hasil. Saat peringatan Hari Buruh Sedunia tahun ini, buruh gendong bersama ratusan buruh yang bekerja di sektor informal di Yogyakarta, turun ke jalan. Mereka, menuntut perlindungan terhadap hak pekerja dan pemenuhan jaminan sosial BPJS. Mereka menginginkan diakui sebagai pekerja secara formal oleh pemerintah.
Tak hanya itu, sejumlah buruh gendong di Pasar Beringharjo yang tergabung dalam Sayuk Rukun sudah pernah bertemu dengan anggota DPRD DIY untuk memperjuangkan hak-haknya. Mereka meminta agar wakil rakyat tersebut bisa memperjuangkan hak-hak mereka sebagai pekerja. Mengingat, selama ini posisi tawar mereka sangat lemah karena tidak mendapatkan pengakuan sebagaimana pekerja pada umumnya.
Dengan pengakuan itu, diharapkan akan memudahkan bagi para buruh gendong untuk mendapatkan hak-hak, seperti upah layak, serta jaminan kesehatan, dan jaminan tenaga kerja.
Sayangnya hingga kini nasib buruh gendong tidak pernah berubah. Tak ada sedikitpun perhatian dari pemerintah.
Buruh Informal
Sebagian besar negara-negara di dunia, termasuk Indonesia memilki jumlah pekerja di sektor ekonomi informal yang relatif besar. Saat ini ada sekitar 70 juta tenaga kerja Indonesia yang bekerja di sektor informal. Meskipun mampu menjadi penopang perekomonian negara namun dikhawatirkan rentan dari kurangnya perlindungan pekerja.
Jika keberadaan sektor informal telah banyak memberi keuntungan bagi pengusaha dan negara, nampaknya hal itu tidak dirasakan oleh buruh informal.
Dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hanya memberikan ruang sektor formal, sehingga hal-hal yang menyangkut relasi pekerja dan pengusaha sudah ada dalam konsep hubungan industrial dan memiliki mekanisme kontrol yang jelas.
Namun, buruh yang bekerja di sektor infromal tidak mempunyai aturan yang jelas.
Menteri Ketenagakerjaan M. Hanif Dhakiri mengatakan memang tak dapat dipungkiri, peran serta pekerja sektor informal dalam membangun perekonomian suatu negara sangatkan signifikan, termasuk mengurangi jumlah pengangguran.
Menurut Hanif pemerintah telah melakukan berbagai upaya baik dalam bentuk regulasi kebijakan maupun program kerja pendampingan bagi para pekerja informal. Sayangnya, program kerja pendampinan maupun perlindungan terutama pada masalah kesehatan belum dirasakan buruh gendong.
Di sini peran pemerintah daerah sangat dinantikan. Bagaimanapun buruh gendong mempunyai kontribusi tidak sedikit terhadap perekonomian di Yogyakarta.
Keberadaan mereka membuat pasar tradisional tetap bertahan hingga kini. Sekarang tinggal menunggu langkah konkret pemerintah agar keberadaan buruh gendong itu tetap bertahan tidak malah makin hilang.