Solidaritas.net | Jakarta – Salah satu perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PT Krakatau Steel melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 700 pekerja outsourcing baru-baru ini. PHK per 31 Desember 2014 lalu itu dilakukan PT Krakatau Steel karena manajemen merasa tidak sanggup lagi untuk untuk mengupah para pekerja outsourcing tersebut.
Organisasi buruh BUMN pun mengecam kebijakan PT Krakatau Steel yang mem-PHK pekerja outsourcing tersebut. Alasan kerugian keuangan yang dialami perusahaan baja terbesar di Indonesia itu pada tahun 2014 lalu dianggap seharusnya tidak boleh sampai mengorbankan pekerja outsourcing. Apalagi, mayoritas mereka ternyata sudah bekerja puluhan tahun.
“PT Krakatau Steel seharusnya memiliki kewajiban atas dasar amanah undang-undang untuk mengangkat pekerja outsourcing tersebut menjadi pekerja tetap di perusahaan baja tersebut,” ungkap Koordinator Gerakan Bersama Buruh BUMN (GEBER BUMN), Ais dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (5/1/2015), seperti dikutip dari website Liputan6.com.
Menurutnya, keputusan PHK tersebut perlu diukur hubungannya dengan beban keuangan perusahaan. Apalagi, saat ini PT Krakatau Steel tengah dipantau atas adanya pelanggaran penerapan outsourcing di perusahaan tersebut. Dijelaskan Ais, jika pembayaran pekerja outsourcing tersebut masuk dalam pos pembayaran karyawan di laporan arus kas PT Krakatau Steel, maka keputusan PHK itu hanyalah jalan pintas yang sesat dan tidak solutif.
Berdasarkan laporan keuangan PT Krakatau Steel pada September 2014, diketahui pos pembayaran karyawan hanya sekitar 4 persen dari beban pembayaran operasional rutin dari aktivitas kas operasional perusahaan tersebut. Pembayaran terbesar malah ada pada pos pembayaran ke pemasok sebesar 83 persen. Bahkan, pembayaran di pos ini juga melebihi pembayaran-pembayaran lainnya, seperti pajak, beban bunga bank dan beban usaha.
Hal ini menunjukkan ketidakmampuan manajemen perusahaan dalam menegosiasi dan menjadwal ulang pembayaran itu. Kemungkinan lain, perusahaan terlalu bergantung pada supplier dan tidak mampu berinovasi untuk mengatasinya. Makanya, Ais meragukan alasan kondisi keuangan di balik keputusan PHK itu. Pasalnya, menurut dia, pembayaran pekerja outsourcing masuk di beban usaha umum dan administrasi, yang jumlahnya relatif kecil.
“Fakta itulah yang kerapkali menjadikan rasionalisasi pekerja sebagai jalan pintas. Ini tentu sama saja dengan menutup akses rakyat untuk mendapatkan hak atas pekerjaan dari negara melalui perusahaan BUMN-nya,” tambah Ais lagi dalam keterangan tertulisnya itu.
Padahal, menurutnya, salah satu rekomendasi Panitia Kerja (Panja) Outsourcing BUMN DPR RI adalah larangan melakukan PHK. Disebutkan bahwa manajemen perusahaan tidak boleh melakukan PHK, serta harus menghentikan rencana PHK terhadap pekerja atau buruh, baik yang berstatus PKWT (Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu) maupun PKWTT (Perjanjian Kerja untuk Waktu Tidak Tertentu). Demikian pula soal kesepakatan rapat antara Menteri BUMN, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Komisi IX DPR RI pada 4 Maret 2014.
“Perusahaan-perusahaan BUMN malah diminta untuk mempekerjakan kembali para pekerja outsourcing yang telah di-PHK sepihak sebelumnya,” tandas Ais.