Depok-Upah ratusan buruh pabrik tidak bertambah meski bekerja seharian. Mereka diminta bekerja hampir 22 jam sehari, tanpa dihitung lembur sama sekali.
![]() |
Ilustrasi lembur. Foto: Fabio Venni |
Buruh tidak bisa menolak karena sanksi pemecatan tanpa pembayaran gaji dan pesangon bakal diterima buruh yang menolak aturan jam kerja tersebut.
RS (26), salah seorang suami buruh perempuan yang bekerja di pabrik tersebut menuturkan, istrinya sudah bekerja sejak tiga tahun atau sejak tahun 2014 dan diberhentikan karena jam kerja yang tidak manusiawi dan dalam kondisi hamil.
“Istri saya sempat diberhentikan bekerja pertengahan 2016 karena sering tidak masuk karena sakit. Sebab, istri sedang hamil anak kedua dan kerjanya tidak manusiawi. Saat usia kandungan istri enam bulan, istri saya diberhentikan,” kata RS, seperti dilansir Warta Kota, Minggu (19/2/2017).
Menurutnya, hari kerja Istrinya di pabrik garmen itu mulai Senin sampai Jumat dengan jam kerja dimulai pukul 07.00 WIB dan selesai bekerja pukul 20.00 WIB. Selain itu, sangat sering istrinya dan tiga ratusan buruh pabrik di sana, baru boleh pulang pukul 24.00 bahkan sampai keesokan paginya.
“Selama bekerja di pabrik itu, paling cepat istri saya pulang atau selesai bekerja jam 8 malam atau jam 20.00. Yang paling sering, dia bekerja sampai jam 12 malam, dan bahkan sampai jam setengah enam subuh atau 5.30 pagi, semua buruh baru boleh pulang,” ungkap RS.
RS menambahkan, meski aturan jam kerja yang tidak manusiawi atau selama 22 jam sehari, namun upah dan gaji selalu tetap yakni sebesar Rp2.750.000 per bulan.
“Berarti, kerja dari pagi ketemu pagi atau sampai tengah malam itu, tidak ada uang lembur sama sekali. Ini benar-benar tak manusiawi,” ucap RS.
Akibat masalah ini, pihaknya akan melaporkan pabrik garmen ke pihak terkait mulai dari Disnaker hingga kementrian tenaga kerja.