Bekasi – Beberapa buruh yang bekerja di salah satu perusahaan di kawasan MM 2100 khawatir terhadap sistem magang yang akan diterapkan perusahaan tempat mereka bekerja. Mereka khawatir sistem magang ini nantinya akan berimbas terhadap keberadaan buruh tetap maupun buruh kontrak. Hal itu terungkap dalam diskusi yang diadakan di sekretariat Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (SEDAR), Sabtu (28/1/2017).
Buruh melakukan perundingan dengan Dinas Tenaga Kerja Bekasi Foto:Solidaritas.net (SS-BY-CA-3.0) |
Buruh tersebut mengkhawatirkan peserta magang akan menggantikan buruh kontrak maupun tetap karena upah buruh magang terbilang lebih murah dan usianya juga masih muda karena baru lulus sekolah atau fresh graduate.
Menanggapi kekhawatiran buruh, pihak perusahaan menyarankan agar buruh melaporkan kepada Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) apabila di kemudian hari terjadi pelanggaran ketenagakerjaan bersamaan dengan penerapan sistem magang.
“Kalau ada pelanggaran berkaitan dengan magang, laporkan saja ke Disnaker,” tutur salah seorang buruh menirukan ucapan Human Resource Development (HRD).
Mujiyo, salah seorang buruh yang aktif di Aliansi Buruh Kontrak Menggugat (ABKM) mengatakan sistem magang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan gerakan buruh. Selama ini, kata dia, banyak serikat yang hanya menuntut penghapusan sistem kerja kontrak dan outsorcing, sedangkan magang luput dari tuntutan.
“Pemerintah memanfaatkan situasi itu untuk menerapkan sistem magang karena dianggap tidak menjadi tuntutan buruh,” ujarnya kepada Solidaritas.net.
Peraturan pemagangan, kata dia, juga masih rancu. Selama ini masyarakat memahami magang adalah salah satu syarat yang harus dilakukan oleh siswa maupun mahasiswa sebagai tahap menyelesaikan pendidikan. Namun Pasal 5 Permennakertrans No. 22/2009 secara gamblang menyebutkan bahwa magang sama dengan pencari kerja.
Oleh karena itu, ia berharap agar keresahan buruh tetap terhadap sistem magang bukan hanya karena ketakutan terhadap posisinya dalam perusahaan, melainkan karena sistem magang tersebut sangat tidak adil. Keresahan itu juga diharapkan dapat menjadi awal penyatuan gerakan untuk menuntut penghapusan segala bentuk sistem kerja yang tidak manusiawi bagi buruh.
Sistem magang mulai ramai dibicarakan setelah adanya deklarasi pemagangan nasional di Kawasan Industri International (KIIC), Karawang Barat, Kabupaten Karawang, yang dihadiri langsung oleh Presiden Jokowi, Jumat (23/12/2016). Deklarasi itu sekaligus meluncurkan program pemagangan dengan melibatkan 5.000 calon pekerja magang di 500 perusahaan industri yang ada di Karawang.
Pemerintah berdalih, saat ini banyak buruh yang tidak produktif sehingga dibutuhkan pelatihan melalui sistem magang. Katanya, peserta magang yang memiliki etos kerja tinggi dan disiplin akan dikontrak.
“Itu kan lazim, jadi pemagangan itu menjadi bagian dari sistem pelatihan yang di luar negeri itu juga lazim dipakai sebagai instrumen untuk meningkatkan kompetensi tenaga kerja,” kata Menaker Hanif Dhakiri dikutip dari Okezone.com
Faktanya, ada sebuah perusahaan yang juga berlokasi di kawasan industri MM 2100 yang menggunakan tenaga peserta magang namun tidak pernah memberikan teori. Peserta magang melakukaan pekerjaan yang sama dengan buruh tetap namun menerima upah yang berbeda karena peserta magang dianggap lebih layak menerima uang saku sebagaimana tercantum dalam Pasal 22 ayat (2) UU Ketenagakerjaan.
Uang saku itu tidak diatur nominalnya. Pernah suatu hari dalam perundingan, pihak Disnaker justru mengatakan Rp.500.000 sudah sangat cukup sebagai uang saku peserta magang.
“Upah magang boleh sesuai UMK, tapi kalau diberi Rp500.000 perbulan itu sudah cukup,” ujar pengawas ketenagakerjaan, Endi Suhendi.
Uang saku yang mereka terima juga dipotong untuk biaya transportasi dan makan, walaupun mereka tidak naik kendaraan yang disediakan LPK selaku penyalur. Biasanya mereka dipaksa lembur dengan upah lembur Rp.10.000 per jam, dan beberapa di antara mereka diberhentikan meskipun belum habis kontrak.
Bahkan dalam perundingan baru-baru ini, pihak perusahaan mengaku bahwa uang saku peserta magang adalah Rp.155.000 per hari namun yang diterima peserta magang hanya Rp.115.600 per hari. Upahnya dipotong Rp.39.400 per hari, apabila nominal tersebut dikalikan dengan jumlah peserta magang yang saat itu ada 60-an orang maka keuntungan yang diraup penyalur adalah Rp.61.464.000 per bulan.