Buruh Korban Es Krim Diamond Tetap Perjuangkan Haknya di Bulan Ramadan

Cimahi – Meski sedang dalam suasana bulan Ramadan, ternyata buruh korban pemutusan hubungan kerja (PHK) PT Sukanda Jaya tetap menggelar aksi unjuk rasa untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Buruh berharap mendapatkan berkah ramadan berupa pemenuhan hak-hak normatifnya yang sudah dimenangkan di pengadilan.

Buruh PT Sukanda Jaya gelar aksi unjuk rasa.
Foto: Pikiran-Rakyat.com

Perjuangan ini sendiri telah berlangsung selama hampir dua tahun, sejak akhir tahun 2014 silam. Kali ini, mereka melakukan aksi unjuk rasa di depan lokasi pabrik es krim Diamond tersebut, di Jalan Daeng Muhammad Ardiwinata, Cimahi, Jawa Barat, Kamis (09/06/2016). Mereka menuntut pihak perusahaan untuk segera menyelesaikan kewajiban atas hak-hak para mantan buruhnya itu sesuai dengan putusan Mahkamah Agung (MA).

Sengketa perburuhan ini sendiri dipicu oleh pemotongan upah yang dialami buruh berkali-kali. Tidak sampai di situ saja, para buruh yang tergabung dalam Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) 1992 itu kemudian menerima pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak, dengan alasan karena sering melakukan aksi unjuk rasa. Kaum buruh tersebut pun akhirnya membawa kasus ini hingga ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), dan berujung di MA.

“Hasil putusan MA menyatakan, 62 karyawan dinyatakan berstatus Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau tenaga kontrak, dan 15 karyawan dinyatakan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) atau karyawan tetap. Bagi karyawan kontrak, masa kerja mereka dianggap berakhir. Sedangkan bagi pekerja tetap, mereka di-PHK dan harus mendapat hak-hak sesuai aturan ketenagakerjaan yang berlaku,” jelas Ketua SBSI 1992 Kota Cimahi, Asep Jamaludin kepada wartawan, seperti dikutip dari Pikiran-Rakyat.com, Senin (13/06/2016).

Putusan MA tersebut sudah keluar sejak bulan Maret 2016. Namun, hingga saat ini pihak perusahaan sama sekali tidak ada itikad baik untuk menunaikan kewajibannya. Padahal, nilai yang harus dibayar tidak besar, hanya sekitar Rp 300 juta. Nilai itu tentu tidak sebanding dengan pengorbanan para buruh tersebut selama dua tahun tanpa kepastian. Selain itu, perusahaan ini juga merupakan perusahaan besar, namun tidak menunaikan kewajibannya.

Dijelaskan pula oleh Ketua PK SBSI 1992 PT Sukanda Jaya, Bejo Susanto pada tanggal 9 Oktober 2014 lalu, mereka menuntut pihak perusahaan untuk menerapkan sistem kerja kemitraan terhadap buruhnya. Pasalnya, selama ini kepentingan pengusaha selalu menjadi penghambat terwujudnya hak-hak buruh. Para buruh itu menuntut penghapusan sistem kerja kotrak, diberlakukannya upah lembur, memberikan cuti sesuai aturan, memberikan tunjangan masa kerja, mengembalikan uang denda atas kerugian perusahaan yang selalu dibebankan pada buruh, serta memberikan transparansi rincian pemotongan upah atas ketidakhadiran buruh dalam rapat, keterlambatan masuk kerja, dan pemotongan upah selama empat bulan bagi buruh baru. Tuntutan yang sebenarnya masih tergolong tuntutan normatif ini akhirnya membuat para buruh dikenai PHK oleh perusahaan.

Tinggalkan Balasan