Solidaritas.net | Kudus – Meski Kabupaten Kudus, Jawa Tengah menerima Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) terbanyak di Indonesia, namun kaum buruh yang bekerja di industri tembakau di daerah tersebut ternyata tidak bisa merasakan hasil yang maksimal dari dana tersebut. Padahal, merekalah yang menjadi pekerja utama dalam industri itu.
Menurut Koordinator Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Kabupaten Kudus, Slamet Machmudi, hanya sebesar 5 persen saja dari dana cukai tembakau tersebut yang bisa dinikmati oleh kaum buruh di Kudus. Laporan minimnya serapan dana cukai tembakau itu berdasarkan hitungan KSBSI Kudus terhadap jumlah buruh rokok yang terekrut dalam pelatihan kerja dan yang mendapatkan hibah dana cukai tembakau tersebut.
Selain itu, hingga saat ini Pemerintah Kabupaten Kudus ternyata juga belum memiliki database terkait buruh industri hasil tembakau (IHT). Menurut Machmudi, keberadaan buruh IHT rupanya memang belum mendapatkan perhatian maksimal dari pemerintah, sehingga wajar saja jika KSBSI Kudus sangat menyayangkan sikap Pemkab Kudus tersebut.
“Pemanfaatan DBHCHT untuk pelatihan keterampilan kerja dan pemberian hibah belum menyentuh pada subtansi persoalan. Buruh sebagai stakeholder IHT dan berada dalam masyarakat di lingkungan IHT belum terberdayakan oleh DBHCHT. Dengan kata lain, hanya 5 persen buruh IHT yang terekrut dalam pelatihan kerja dan mendapatkan hibah DBHCHT,” Machmudi beberapa hari lalu, seperti dikutip dari laman portal berita SuaraMerdeka.com.
Lanjut Machmudi, peruntukan dana cukai tembakau yang berjalan selama ini tersebut belum sepenuhnya tepat sasaran. Menurut dia, indikasinya banyak proyek pemerintah yang dibiayai dana cukai tembakau tersebut, namun kondisinya malah jalan di tempat. Beberapa di antaranya seperti mega proyek Lingkungan Industri Kecil (LIK) Industri Hasil Tembakau yang menelan anggaran hingga Rp22 miliar dan sejumlah sarana kesehatan di puskesmas.
Berdasarkan analisis pihaknya, sejumlah kegiatan atau proyek Pemkab Kudus yang dibiayai oleh dana cukai tembakau tersebut memang perlu dipertanyakan manfaatnya dengan mengaitkan dana yang digunakan. Wajar saja jika kemudian mereka juga mempertanyakan efektivitas dana cukai tembakau tersebut untuk kepentingan buruh rokok secara langsung.
“Jadi mayoritas dana cukai justru malah banyak terserap untuk kegiatan lainnya yang tidak berhubungan dengan hajat hidup buruh rokok,” kata Machmudi lagi dilansir SindoNews.com.
Oleh karena itu, pihaknya mendesak Pemkab Kudus lebih memprioritaskan alokasi dana cukai tembakau untuk penyiapan dan peningkatan kesejahteraan buruh rokok. Pasalnya, dari tahun ke tahun potret industri sektor rokok kian memprihatinkan, terutama industri kelas menengah ke bawah. Hal ini imbas dari berbagai faktor, mulai dari tingginya tarif cukai rokok, naiknya harga bahan baku, hingga regulasi pembatasan produksi rokok itu sendiri.
“Kondisi riil di lapangan seperti itu. Maka, mekanisme penyelamatan dampak regulasi IHT bagi buruh sifatnya mendesak. Jika upaya ini terlambat dilakukan, maka akan muncul pengangguran baru imbas dari penutupan usaha IHT,” tandas Machmudi menambahkan.
Kabupaten Kudus mendapat dana cukai tembakau sejak 2009 hingga sekarang, yang dikucurkan pemerintah pusat. Jumlahnya terus bertambah setiap tahun. Jika sebelumnya hanya puluhan miliar rupiah, maka pada 2014 lalu jumlah sudah mencapai Rp144 miliar, yang penggunaannya dibagikan ke 13 instansi pemerintah di lingkungan Pemkab Kudus.