Buruh Laporkan Hakim PHI Bandung ke Komisi Yudisial

Aksi buruh korban PHI Bandung di depan Komisi Yudisial, 10 Agustus 2020.

Jakarta – Ratusan buruh dari Cikarang melaporkan hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Bandung yang diduga tidak netral. Oknum hakim di sejumlah kasus diduga memenangkan pengusaha dengan pertimbangan yang tidak sesuai hukum dan tidak masuk akal. Pelaporan ini dirangkaikan dalam bentuk aksi pada 10 Agustus 2020 di depan Gedung Komisi Yudisial, Jalan Kramat Raya, Senen, Jakarta Pusat.

Salah satu putusan pengadilan yang dilaporkan adalah Putusan Nomor 19/Pdt.Sus-PHI/2020/PN.Bdg Tanggal 22 Juni 2020, yang menyatakan hubungan kerja buruh berakhir dengan perusahaan outsourcing, PT. Graha Indotama Paramadina (PT. GIT). Buruh telah mengantongi Nota Pemeriksaan Khusus Nomor 560/B.7429/UPTD-WIL.II/XII/2018 tertanggal 04 Desember 2018 yang menyatakan hubungan kerja buruh beralih menjadi pekerja PT. SENFU dan diperkuat dengan Anjuran Disnaker Kabupaten Bekasi Nomor 565/4669/Disnaker, tanggal 4 September 2019 yang menganjurkan hubungan kerja buruh beralih menjadi pekerja tetap (PKWTT) dengan PT. SENFU, serta adanya Anjuran Nomor: 567/5322/Disnaker tanggal 30 September 2019 yang menganjurkan buruh tidak dikenai PHK oleh PT. GIT karena hubungan kerja buruh telah beralih menjadi pekerja PT. SENFU.

Sebuah nota pengawas dan dua anjuran Disnaker seharusnya menjadi bahan pertimbangan yang serius bagi majelis hakim, namun majelis hakim memutus hubungan kerja PKWTT dengan perusahaan outsourcing dan hubungan kerja dianggap berakhir.

“Majelis Hakim dengan gegabah tidak mempertimbangkan bahwa perusahaan baru memiliki pelaporan jenis pekerjaan penunjang pada tanggal 27 November 2018, sedangkan buruh telah dipekerjakan sebagai buruh alih daya sejak 2015. Majelis Hakim yang menetapkan pesangon rata-rata Rp9 juta untuk setiap pekerja tanpa melihat hasil kerjanya, adalah bukti bahwa putusan ini dibuat secara asal-asalan saja,” kata Saiful, Ketua Federasi Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (F-SEDAR), saat mendampingi buruh melakukan aksi.

Dalam kasus buruh PT. Keihin Indonesia yang dikalahkan dalam putusan No. 54/Pdt.Sus-PHI/2020/PN.Bdg Tanggal 1 Juli 2020, salah satu pertimbangan Majelis Hakim adalah harus ada Nota pemeriksaan khusus untuk membuktikan adanya pelanggaran perjanjian kerja. Padahal, dalam kasus PT. Senfu yang sudah memiliki nota pemeriksaan khusus saja, buruh tetap tidak dimenangkan, sedangkan baik perkara PT. Keihin dan PT. Senfu sama-sama diketuai oleh Hakim Wasdi Permana.

Menurut Saiful, dalam kasus Keihin, perusahaan memiliki perjanjian kerjasama order dengan PT Kawasaki Motor Indonesia selama lima tahun. Sedangkan Pasal 59 Ayat (1) huruf (b), membolehkan PKWT atau kontrak untuk pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun.

“Seharusnya buruh diangkat menjadi karyawan tetap sesuai ketentuan dalam Pasal 59 Ayat (7) UU Ketenagakerjaan,” kata Saiful.

Buruh yang juga ikut mengadukan permasalahannya adalah buruh PT. Fajar Mitra Indah yang menolak dikenai PHK lantaran telah menolak pesangon yang dibayarkan ke rekeningnya. Buruh berusaha mengembalikan pesangon tersebut kepada pengusaha dengan mentransfer kembali, lalu pengusaha kembali melakukan transfer dengan setoran tunai. Hal ini membuat tidak jelas siapa yang melakukan transfer.

Di pengadilan, pihak pengusaha menunjukkan bukti setoran tunai yang telah dibantah oleh pihak buruh. Namun, majelis hakim menyatakan tidak ada bantahan buruh terhadap alat bukti tersebut. Padahal, buruh telah membantah autentifikasi alat bukti. Bukti setoran tunai itu tidak terautenfikasi oleh PT. Fajar Mitra Indah.

“Tidak ada otorisasi perusahaan berupa tanda tangan maupun stempel,” kata Kadi Hidayatullah.

Buruh telah mendalilkan masalah ini dalam kesimpulannya dan juga bersedia mengembalikan uang tersebut apabila memang terbukti dibayarkan oleh pengusaha. Sampai saat ini, uang tersebut masih berada di rekening buruh dan tidak digunakan.

Dalam putusan perkara PT. Trimitra Chitrahasta No. 28/Pdt.Sus-PHI/2020/PN.Bdg Tanggal 8 Juli 2020, lagi-lagi Majelis Hakim PHI Bandung dinilai melakukan blunder dengan mewajarkan keterlambatan perusahaan mencatatkan PKWT.

“Majelis hakim berdalih dibutuhkan waktu untuk memeriksa kelayakan PKWT. Penilaian hakim ini tidak berdasar hukum, karena pencatatan PKWT tidak untuk pemeriksaan kelayakaan. Hanya sebagai register,” terang Saiful.

Saiful juga mengatakan, telah ada Pengawas Ketenagakerjaan yang salah satu tugasnya adalah melakukan pemeriksaan khusus mengenai status kerja. Disnaker dalam hal ini bukan pengawas ketenagakerjaan.

Menurutnya, mengenai pencatatan PKWT, seharusnya Majelis Hakim menggunakan tafsiran Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 6/PUU-XVI/2018 halaman 24-26 yang menyatakan: “Pasal 59 UU 13/2003 termasuk Penjelasannya, telah menjadi dasar yang cukup bahwa PKWT wajib dicatatkan dan tidak dicatatkannya PKWT sampai dengan batas waktu yang ditentukan demi hukum berubah menjadi PKWTT.”

Ketentuan waktu pencatatan PKWT telah diatur dalam Pasal 13 Kepmenakertrans No. 100/2004: “PKWT wajib dicatatkan oleh pengusaha kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota setempat selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak penandatanganan.” Jikalau benar pengusaha ingin membuat PKWT yang layak, seharusnya pengusaha melakukan konsultasi dan meminta pembinaan dengan Disnaker sebelum membuat PKWT, bukan setelah ditandatangani.

“Ini ada apa? Di masa pandemi dan jelang pengesahan Omnibus Law kok kasus buruh kalah semua?” tanya Saiful.

Saiful juga mengungkapkan, keanehan ini akan semakin meningkatkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses penegakan hukum di Indonesia yang selama ini dinilai “tumpul ke atas dan tajam ke bawah”.

“Kami tidak akan biarkan hak-hak kami dirampas begitu saja oleh proses hukum yang tidak adil,” tandasnya.

Tinggalkan Balasan