Buruh Menonton Subversif

Solidaritas.net, Jakarta – Jum’at, 13 Maret 2015 di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki dipentaskan seni teater dengan judul Subversif yang merupakan karya adaptasi dari drama klasik berjudul An Enemy of The People karya Hendrik Ibsen. Kami, 17 orang buruh dan mahasiswa turut serta menyaksikan pertunjukan teater tersebut.

menonton subversif
Adegan film Subversif. Foto: Adrian Mulya

Produser sekaligus Direktur Institut Ungu, Faiza Mardzoeki, membuka acara dengan pernyataan menarik tentang ketidakpedulian negara dalam mendukung kegiatan seni dan budaya di Indonesia. Seniman malah dibebankan pajak retribusi oleh pemerintah. Sambutan dari duta besar Norwegia, Stig Traavik, menyatakan apresiasinya terhadap pementasan karya Hendrik Ibsen ini dan menegaskan bahwa karya yang ditulis seabad yang lalu tersebut masih relevan dengan kondisi Indonesia hari ini.

Cerita Subversif ini sendiri mengisahkan tentang seorang dokter Torangga yang melakukan penelitian dan menemukan bahwa kota Kencana sedang terancam bahaya akibat limbah perusahaan tambang yang mencemari seluruh air bersih di kota tersebut. Niat baik untuk mengumumkan hal ini kepada masyarakat kota Kencana justru berubah menjadi malapetaka ketika Walikota Jokarna, yang juga kakak dari dokter Torangga, berposisi membela perusahaan tambang tersebut demi kepentingan kekuasaannya.

Konspirasi antara Walikota mewakili penguasa, pengusaha, media massa, politisi, intelektual dan buruh tambang sendiri berhasil mempengaruhi masyarakat kota Kencana untuk berbalik memusuhi dokter Torangga dan menyatakannya sebagai musuh rakyat. Hembusan isu penutupan perusahaan tambang sebagai sumber penghasilan masyarakat kota Kencana mampu mengalahkan kebenaran tentang bahaya limbah yang justru sedang mengancam kehidupan masyarakat kota Kencana.

Pementasan ini sangat menarik dengan menyajikan tema semangat perlawanan atas penindasan terhadap kebenaran dan demokrasi serta menunjukkan secara sederhana bagaimana kebusukan konspirasi penguasa, politisi, media massa serta kaum intelektual membodohi rakyat demi kepentingan mereka, seperti terjadi di negeri ini hari ini.

Pada suatu adegan, dokter Torangga diusir dari kotanya sendiri. Tak ada bedanya saat buruh kerap disuruh angkat kaki dari perusahaan, bahkan dari serikat yan tidak demokratis, apabila buruh mengungkapkan keluhannya.

Akan sangat menarik apabila konflik antara dokter Torangga dan isterinya, yang semula menentang perlawanan sang suami terhadap penguasa akibat ketakutannya akan kehilangan pekerjaan hingga pada akhirnya berubah mendukung perjuangan sang suami, dapat disajikan dengan lebih tajam, seperti realita yang banyak ditemui dalam kehidupan sehari-hari, termasuk bagi buruh.

Sayangnya, bahwa pertunjukan teater ini hanya dinikmati oleh kelas menengah hingga kelas atas, meski cerita tersebut telah menunjukkan bahwa pada akhirnya langkah yang harus ditempuh oleh dokter Torangga untuk melawan penindasan penguasa adalah dengan mendidik kaum miskin untuk bangkit melawan. Pada akhirnya, dokter Torangga berencana mengumpulkan anak jalanan untuk diberi pendidikan yang mengajarkan kebenaran.

Membangkitkan kesadaran untuk melawan kesewenang-wenangan penguasa seperti ucapan dokter Torangga

“Mayoritas adalah selalu benar adalah tirani kebenaran! Mayoritas selalu benar adalah kebohongan sosial! Setiap manusia merdeka dan berakal sehat harus memberontak terhadapnya”

Mendidik kaum miskin yang selama ini dibodohkan melalui sistem kapitalisme agar teguh berprinsip dan berkepribadian serta tidak lagi bermimpi bahwa kesejahteraan akan diberikan oleh elit-elit penguasa kepada rakyatnya, melainkan hanya akan didapat melalui perjuangan rakyat sendiri.

Akhirnya terima kasih kepada seniman negeri ini atas sumbangsihnya membangun kesadaran rakyat untuk terus berjuang melawan penindasan melalui seni perlawanan yang dekat dengan kehidupan kaum tertindas.

Tinggalkan Balasan