Buruh Nilai Aturan PHK di UU Saling Bertentangan

Solidaritas.net – Jakarta | Pada 25 Maret 2003, Pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mengatur mengenai hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha, serta tanggung jawab pemerintah dalam lingkup hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Pada Pasal 136 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan ini diamanatkan pula prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial diatur dalam peraturan sendiri.

bubarkan PHI
Bubarkan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) © FSPS

Kemudian, pada 14 Januari 2004, pemerintah juga mengesahkan UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI), yang melatarbelakangi dibentuknya Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Lembaga yang berlaku mulai 14 Januari 2005 ini menjadi lembaga khusus dalam lingkungan peradilan umum, untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial, termasuk masalah pemutusan hubungan kerja (PHK).

Namun, setelah 10 tahun sejak dibentuknya PHI, kaum buruh pun merasakan keberadaan lembaga ini tidak bermanfaat banyak bagi mereka. Malah semakin menyudutkan posisi buruh dalam perselisihan dengan pengusaha yang mempekerjakannya. Ini dilatarbelakangi oleh perbedaan prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial, terutama soal PHK.

Dalam UU PPHI Pasal 81, telah diatur tentang prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial, termasuk permasalahan PHK, baik melalui cara bipartit, mediasi atau konsiliasi atau arbitrase, serta hakim dan hakim kasasi. Yang berselisih bisa mengajukan gugatan kepada PHI pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi wilayah para buruh.

“Padahal, UU Ketenagakerjaan khususnya ketentuan Pasal 152 Ayat (1), penyelesaian PHK diajukan melalui permohonan ke PHI,” jelas Chairul Eillen dari Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa dalam siaran pers yang diterima Solidaritas.net, Kamis (15/01/2015).

Sehingga, menurut Eillen, perbedaan prosedur penyelesaian perselisihan PHK dalam UU PPHI dan UU Ketenagakerjaan itu pun menyebabkan hilangnya jaminan, perlindungan dan kepastian hukum bagi kaum buruh yang kedudukannya lebih lemah dibanding pengusaha.

Menurutnya, pengaturan penetapan PHK melalui permohonan atau gugatan voluntair seperti diatur dalam UU Ketenagakerjaan, justru lebih menjamin perlindungan dan kepastian hukum bagi buruh. Pasalnya, yang mengajukan permohonan penetapan PHK ke lembaga PHI adalah pengusaha, sebagai pihak yang mempunyai inisiatif untuk melakukan PHK tersebut.

Sedangkan pengaturan PHK melalui gugatan contentiosa seperti diatur dalam UU PPHI, justru menghilangkan kewajiban pengusaha. Karena, jika pengusaha tidak mengajukan gugatan PHK, maka buruh akan kehilangan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum atas hubungan kerjanya. Sehingga, akhirnya buruh terpaksa untuk mengajukan gugatan. Jika kondisi itulah yang terjadi, maka posisi buruh pun akan semakit sulit dan tersudutkan.

“Keterbatasan kemampuan buruh dan serikat buruh untuk memahami hukum acara perdata yang berlaku dalam lingkungan peradilan umum, dan tidak adanya biaya untuk menyewa jasa pengacara, serta masih sedikitnya buruh yang menjadi anggota serikat buruh, merupakan kondisi yang tidak adil jika dibandingkan dengan pengusaha yang mempunyai sumber daya dan sumber dana untuk beracara di PHI,” lanjut Eillen dalam siaran pers itu.

Oleh karena itulah, kemudian Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa pun menyampaikan permohonan pengujian formil dan materil UU PPHI tersebut ke Mahkamah Konstitusi.

***

activate javascript

activate javascript

Tinggalkan Balasan