Buruh outsourcing dan buruh kontrak berkepribadian lah; berkonsolidasi, belajar, melatih diri dan melawan lah, walaupun buruh tetap atau serikat tidak mendukung kalian!
Upaya kapitalis untuk menghemat biaya produksi dengan mendiskriminasi upah, tunjangan dan hak-hak ekonomi lainnya terhadap buruh kontrak dan buruh outsourcing yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan tertentu—cleaning services (kebersihan); kantin; antar-jemput dan delivery (pengiriman); security (Satpam); dan pertambangan; alias buruh outsourcing–dan, melalui lembaga-lembaga keuangan serta perdagangan internasional seperti Bank Dunia (World Bank), Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund); Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization), mereka mendesak pemerintah Indonesia untuk memasukkan pasal buruh kontrak dan outsourcing dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan kita. Tentu saja pemerintah Indonesia bersepakat dengan mereka (kapitalis asing) karena pejabat-pejabat Indonesia bermetal budak, bermental calo, pengecut—takut tak diberi utang lagi—dan bodoh—tak sanggup membangun industrialisasi nasional; dan, cilakanya, banyak serikat buruh utama (mainstream) yang menyepakatinya masuk dalam UU Ketenagakerjaan.
Namun, diskriminasi upah, tujangan, dan hak-hak ekonomi tersebut dirasa tidak cukup menghemat oleh kapitalis; oleh karena itu, kapitalis, kemudian, walaupun melanggar hukum, dengan berbagai macam alasan, menentukan (dengan seenaknya) bahwa beberapa pekerjaan-pekerjaan pokok produksi (core business)–yang seharusnya hanya dikerjakan oleh buruh tetap–dapat digolongkan atau dikategorikan sebagai pekerjaan buruh kontrak dan buruh outsourcing. Sekarang ini, sebagian besar kapitalis melakukan hal itu.
(bersambung, lihat halaman 2)Buruh outsourcing dan buruh kontrak berkepribadian lah: berkonsolidasi, belajar, melatih diri dan melawan lah, walaupun buruh tetap atau serikat tidak mendukung kalian! (2)
Selain itu, dalam upaya kapitalis untuk menghemat biaya produksi lebih besar lagi, sekarang sedang merajalela pula: kapitalis mengatur proporsi atau jumlah perbandingan antara buruh tetap dan buruh kontrak lebih kecil ketimbang buruh outsourcing dan buruh kontrak sehingga, SEBENARNYA, daya tawar buruh tetap (dalam menekan kapitalis) lebih kecil ketimbang buruh outsourcing dan buruh kontrak. Celakanya, banyak PUK yang tidak sadar kekuatan, sehingga tidak mau merangkul atau bersatu-berjuang dengan buruh outsourcing dan buruh kontrak. Padahal, tidak ada ketentuan (dalam Undang-Undang) bahwa buruh outsourcing dan buruh kontrak tidak boleh menjadi anggota serikat buruh (di perusahaan yang MENGGUNAKAN TENAGA KERJANYA), semua PEKERJA—tanpa penggolongan—boleh menjadi anggota serikat BURUH (di perusahaan yang menggunakan tenaganya);
Dengan demikian, perlawanan kita terhadap praktek buruh outsourcing dan buruh kontrak oleh kapitalis akan dianggap sebagai upaya untuk meningkatkan standard biaya produksi (kapitalis). Dan karena praktek buruh outsourcing dan buruh kontrak itu telah merajalela hampir di semua perusahaan, maka peningkatan standard biaya produksi tersebut akan menyangkut peningkatan biaya produksi yang sangat besar (apalagi dihitung secara kawasan industri atau nasional), sehingga besar kemungkinan perlawanan PARA KAPITALIS pun akan sangat kuat—bisa saja, saat PARA KAPITALIS tersebut belum terkonsolidasi dengan kuat, ada satu atau dua perusahaan yang mengabulkan tuntutan kita (misalnya kasus perusahaan HERO dan yang lain-lainnya; yang dikabulkan tuntutannya; tidak demikian dengan Indomatsomoto dan IST, yang mengancam akan menutup perusahaannya sehingga buruh outsourcing mundur dan mengalami kerugian); Sekarang, setelah serangan balik kapitalis (dengan bantuan aparat-preman), para kapitalis merasa kuat dan sudah terkonsolidasi, sehingga mereka lebih leluasa melakukan praktek buruh outsourcing dan buruh kontrak–bahkan ada perusahaan yang sudah digerudug dan membebaskan buruh outsourcing-nya, kembali memasukkan dan memperkejakan buruh outsourcing.
Oleh karena itu, perlawanan terhadap praktek buruh outsourcing dan buruh kontrak harus diperjuangan bersama—persatuan buruh tetap, buruh kontrak, dengan buruh outsourcing. Karena perjuangan tersebut bukan saja menyangkut kepentingan buruh outsoucing dan buruh kontrak, namun juga menyangkut kepentingan buruh tetap—karena, buruh tetap, bila daya tawarnya (dalam menekan kapitalis) kecil maka perjuangannya menuntut kesejahteraannya akan menjadi semakin sulit. (Sebagai contoh, ada perusahaan yang, bila buruh tetap mogok, maka proses produksi tetap bisa dijalankan oleh buruh outsourcing dan buruh kontrak karena buruh outsourcing dan buruh kontraknya sudah ditempatkan di core business—bahkan di jantung proses produksi—dan lebih banyak jumlahnya).
Namun kita harus melihat kenyataan: BILA BURUH TETAPNYA TIDAK MAU MAMBANTU–WALALUPUN SEBAGIAN BESAR BURUH TETAP DUDUK SEBAGAI PERANGKAT–BURUH OUTSOURCING DAN BURUH KONTRAK HARUS TETAP MELAWAN, APALAGI DAYA TAWAR BURUH OUTSOURCING DAN BURUH KONTRAK( DALAM MENEKAN KAPITALIS) LEBIH KUAT KETIMBANG BURUH TETAP.
(bersambung, lihat halaman 3)
Buruh outsourcing dan buruh kontrak berkepribadian lah: berkonsolidasi, belajar, melatih diri dan melawan lah, walaupun buruh tetap atau serikat tidak mendukung kalian! (3)
Satu orang buruh outsourcing atau buruh kontrak pun yang diputus kontraknya (atau didahulukan dipecat), maka itu akan menyangkut 1 jiwa manusia, yang akan berpengaruh pada hidupnya (dan bisa saja hidup keluarganya). Mereka titipan Allah, sebagai sesama yang harus kita bela, apalagi telah hidup bersama satu pabrik dan pernah menolong hidup kita, dan karena kekuatan daya-tawarnya yang melekat pada dirinya, pernah menolong meningkatkan daya tawar serikat pada manajemen (sehingga banyak kawan yang bisa hidup lebih sejahtera dan nyaman), pernah membesarkan gerakan (upah, jaminan sosial, BBM dan sebagainya yang kawan-kawan telah dan akan nikmati).
Katanya alasan tak bisa menolong mereka karena tak punya argumen hukum yang kuat. Aneh: apakah tidak bisa belajar dari kemenangan-kemenangan membebaskan buruh-buruh outsourcing dan buruh-buruh kontrak, yang bisa menang walau tak punya argumen hukum kuat? Para pendukung yang sekarang menjadi buruh tetap tidak mendukung pembebasan buruh outsourcing dan buruh kontrak–padahal mereka bisa diangkat menjadi buruh tetap karena dahulu berjuang bersama mereka yang sekarang masih menjadi buruh kontrak atau masih menjadi buruh outsourcing, [karena Perjanjian Bersama (PB) nya mendiskriminasikan buruh outsourcing dan buruh kontrak (ada buruh outsourcing dan buruh kontrak yang sudah bekerja 3 tahun tapi dalam PB nya tidak dimasukkan dalam golongan yang akan diangkat menjadi buruh tetap]; atau, paling banter, buruh tetap pura-pura (di mulut) mendukung pembebasan buruh outsourcing dan buruh kontrak, tapi tak berbuat apa-apa, atau juga cuma ngedumel di belakang. Bahkan, setelah takluk dalam debat, walau tak bersepakat, buruh tetap tak berbuat apa-apa, bahkan ada yang sepakat dengan lawan debatnya. kalau pun akan bertindak, harus menunggu duduk dalam struktur perangkat (sementara sebagian besar buruh outsourcing dan kontrak nya sudah dipecati walau tetap ada penerimaan-penerimaan buruh baru). Para “pendukung pembebasan buruh outsourcing dan buruh kontrak” itu, yang cuma ngomong doang, sekarang malah bungkam. Ada alasan lain kenapa mereka tidak mendukung pembebasan buruh kontrak dan buruh outsourcing, yakni: demi menjaga persatuan; atau alasan formalis: serikat tidak punya program untuk membebaskan buruh outsourcing dan buruh kontrak, kecuali yang melanggar Undang-Undang–tapi, dalam hal penggunaan buruh kontrak yang melanggar Undang-Undang, pun serikat pun tidak punya program untuk membebaskannya. Mengorbankan hidup buruh outsourcing dan buruh kontrak demi bersatu dengan bandit (tak punya hati); alasan persatuan dijadikan tameng; Dan kenapa tidak ada program membebaskan buruh kontrak yang melanggar Undang-undang–apalagi menghapuskan pasal-pasal penggunaan buruh outsourcing dan buruh kontrak dari Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomer 13, Tahun 2003–undang-undang yang seharusnya sudah masuk keranjang sampah (dan namanya pun harus diganti jadi: Undang-Undang Perlindungan Buruh). Jangan Menggunakan bahasa (atau kepentingan) manajemen. Bahasa manajemen yang gemar digunakan oleh PUK: “Kalau kalian mogok atau macam-macam, maka perusahaan ini akan bangkrut.” Seolah-olah PUK sudah memeriksanya dan seolah-olah PUK sudah melihat pembukuan perusahaan; padahal, penerimaan buruh baru terus berlanjut; seperti anak kecil ditakut-takuti hantu, belum melihat ujudnya, sudah gentar; Penerimaan (reqruitment) buruh baru terus berlanjut, buruh outsourcing dan buruh kontrak lama (yang melanggar Undang-Undang, terutama dalam penempatannya) disapu habis.
Memang, bagi manajemen, lebih untung menerima buruh baru—lebih segar; tak punya serikat; bisa ditakut-takuti; lebih loyal pada manajemen karena balas budi; dan buruh kontraknya (bila mau diteruskan kontraknya atau bila mau dipekerjakan lagi) rela menjadi buruh baru dengan nol pengalaman kerja, atau rela di-outsourcing; Banyak buruh tetap berlaku seperti ini: sambil merintih-rintih tentang penderitaan buruh outsourcing dan buruh kontrak, serta berteriak-teriak retorika-revolusioner, tapi diam tak melakukan apapun, sambil mempertontonkan kenyamanannya sebagai buruh tetap—jaminan pekerjaan; mobil; usaha sampingan, dan jaminan keselamatan hidup karena sanggup mengasuransikan pendidikan anak-anaknya dan tabungan; Ini bahasa manajemen yang juga sering dipakai buruh tetap yang tak mau membebaskan buruh outsourcing dan buruh tetap: “Sekarang ini, tidak seperti dulu, perusahaan sudah menerapkan kewajiban normatif. Karena itu, kini tidak waktunya lagi menyerang atau membabat perusahaan, tapi kita harus membangun bersama ladang hidup kita.” Apakah makna “membangun bersama ladang hidup kita” itu artinya “MEMBABAT BURUH OUTSOURCING DAN BURUH KONTRAK?” Dan apakah perusahan sampai semaju sekarang ini tidak dibangun bersama buruh outsourcing dan buruh kontrak atau hanya dibangun oleh buruh tetap? Mengapa hanya outsourcing dan buruh kontrak—yang juga turut membangun perusahaan—yang dibabat (digantikan buruh baru)?; bila dihitung-hitung, walaupun buruh kontrak dan buruh outsourcing lebih singkat masa kerjanya tapi, karena jumlahnya lebih banyak, mereka sebenarnya lebih banyak menyumbangkan tenaganya bagi produktivitas dan keuntungan perusahaan. Dan, dari hari ke hari, proporsi buruh kontrak jumlahnya semakin lebih besar dari jumlah buruh tetap (menurut ILO sekarang sudah 70%) Apakah daya tawar PUK/buruh tetap terhadap manajemen akan semakin menguat bila buruh kontrak yang sekarang digantikan buruh baru?
Jadi, ingat: penerapan sistem ketenagakerjaan outsourcing dan kontrak, disamping untuk menghemat biaya perusahaan–atau untuk memperbesar keuntungan pengusaha demi kesejahteraan dirinya atau untuk perluasan/pencagihan teknologi dalam mengadapi persaingan di pasar; juga untuk: MEMPERKECIL DAYA-TAWAR DAN MENGHANCURKAN PERJUANGAN SERIKAT BURUH.
(bersambung, lihat halaman 4)Buruh outsourcing dan buruh kontrak berkepribadian lah: berkonsolidasi, belajar, melatih diri dan melawan lah, walaupun buruh tetap atau serikat tidak mendukung kalian! (4)
Pandai sekali pengusaha memecah-belah buruh: buruh di bagi menjadi golongan BURUH TETAP, GOLONGAN BURUH OUTSOURCING, dan golongan BURUH KONTRAK. Pengusaha menggunakan anjing herdernya–yaitu negara–untuk merestui penggolongan tersebut melalui sederat tulisan berupa yang namanya Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang dijaga oleh birokrasi, pengadilan, polisi, tentara, dan preman. Sehingga buruh tetap merasa beda dengan buruh kontrak atau dengan buruh outsourcing; buruh tetap merasa lebih nyaman ketimbang buruh kontrak atau ketimbang buruh outsourcing; buruh tetap merasa lebih aman ketimbang buruh kontrak atau ketimbang buruh outsourcing; buruh tetap tak peduli nasib buruh kontrak dan buruh outsourcing–karena perbaikan nasib buruh kontrak dan buruh outsourcing dianggap akan mengurangi kesejahteraan buruh tetap; buruh tetap tidak mau memperjuangkan perubahan status buruh kontrak dan buruh outsourcing menjadi buruh tetap karena khawatir perusahaan akan bangkrut sehingga buruh tetap akan kehilangan pekerjaan dan kenyamanannya; buruh tetap bodo amat bila buruh kontrak dan buruh outsourcing didholimi karena khawatir terseret menjadi sasaran manajemen; buruh tetap berusaha sekuat tenaga agar buruh kontrak dan buruh outsourcing jangan menjadi pengurus PUK, karena tak mau buruh kontrak dan buruh outsourcing menjadi lebih kuat dalam memperjuangkan nasibnya bila menggunakan PUK; merajalelanya pelanggaran terhadap buruh kontrak dan buruh outsourcing, oleh buruh tetap dianggap sebagai penghematan perusahaan yang akan memajukan perusahaan sehingga kesejahteraan buruh tetap akan meningkat dan pekerjaannya terjamin; bahkan serikat menolak program untuk memperjuangkan tuntutan terhadap pelanggaran pada buruh kontrak–apalagi menghapuskan sistem penggunaan buruh kontrak dan outsourcing dari Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003–karena hendak memberi peluang bagi pengusaha untuk menghemat, atau agar perusahan memenangkan persaingan di pasar dan perusahaan akan lebih baik perkembangannya, sehingga peluang kesempatan kerja dapat dijamin, walau dengan mengorbankan dan mendiskriminasi buruh kontrak dan buruh outsourcing; serikat tak berdaya bila buruh kontrak dan buruh outsourcing diputus hubungan kerjanya walau tidak ada rasionalisasi atau malah target produksi justru meningkat (buruh kontrak diputus kontraknya dan diganti dengan buruh kontrak baru yang lebih segar dan tak berserikat), dengan alasan tak ada landasan hukumnya–padahal bisa melakukan Judicial Review, atau menggunakan Keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah aturan-aturan ketenagakerjaan (misalnya Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011 dan No. 19/PUU-IX/2011), atau dengan melakukan mogok, aksi massa dan solidaritas.
Catatan:
1. Penggolongan dan pembedaan antara buruh tetap dengan buruh kontrak adalah diskriminasi terhadap hidup manusia;
2. Sebagian besar penggunaan buruh kontrak dan buruh outsourcing melanggar aturan ketenagakerjaan dalam hal penempatan dan penggolongan jenis poduknya.
(Tamat)