Solidaritas.net, Bogor – Kaum buruh harus berani melawan kesewenang-wenangan pengusaha dengan terus memperjuangkan hak-haknya, bahkan hingga titik darah penghabisan. Dengan cara seperti itulah kaum buruh bisa mendapatkan pengakuan dari para pengusaha yang selama ini hanya mau menghisap tenaganya saja, tanpa memperhatikan dan memberikan hak-hak para buruh yang sesuai dengan ketetapan standar kesejahteraan bagi mereka.
Mungkin karena itu pula, seorang buruh asal Kabupaten Bogor, Jawa Barat, bernama Alisa Julianty, berani memperjuangkan nasibnya dan hak-haknya yang telah dipasung oleh pihak perusahaan tempatnya bekerja, PT Tunggal Jaya Plastic Industry. Bahkan, Alisa pun berani berjuang hingga ke tingkat yang paling tinggi sekalipun, yakni mengajukan banding atas putusan yang merugikannya selama ini hingga ke tingkat Mahkamah Agung (MA) di Jakarta.
“Demi memperjuangkan haknya, Alisa Julianty menuntut PT Tunggal Jaya Plastic Industry dari tingkat Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bogor, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada Pengadilan Negeri Bandung, hingga Mahkamah Agung (MA). Alisa keberatan dengan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan perusahaan sejak tanggal 25 Oktober 2013,” tulis portal BuruhOnline.com, saat dikutip oleh Solidaritas.net, Minggu (31/5/2015).
Perusahaan yang berlokasi di Jalan Raya Karanggan Muda, RT 004 RW 05, Kabupaten Bogor itu, sebenarnya tak punya alasan yang kuat saat memutuskan untuk melakukan PHK secara sepihak terhadap Alisa. Pihak manajemen perusahaan hanya memberikan alasan bahwa PHK itu terpaksa diambil karena perusahaan sedang melakukan efisiensi. Alasan itu dengan jelas diterangkan oleh pihak perusahaan dalam sidang mediasi di Dinsosnakertrans Kab Bogor.
Alisa tidak bisa menerima penjelasan perusahaan yang menurutnya tak masuk akal itu. Ibu dari dua anak kembar yang sudah yatim karena ayahnya meninggal itu pun menuntut uang PHK beserta ganti rugi imateril dari pihak perusahaan, yang secara total berjumlah sebesar Rp 888,8 juta. Namun, PHI Bandung hanya memutuskan penetapan uang pesangon sebesar Rp 21,3 juta melalui surat Putusan Nomor 44/G/2014/PHI/PN.Bdg tanggal 10 Juni 2014.
Tetapi, Alisa ternyata tak berhenti sampai di situ saja. Dia merasa keberatan dengan Putusan PHI Bandung tersebut, sehingga mengajukan permohonan kasasi ke MA pada 26 Juni 2014. Permohonan kasasi dari Alisa itu pun tercatat dalam Akta Permohonan Kasasi Nomor 52/Kas/G/2014/PHI/PN.Bdg, yang disertai dengan memori kasasi tertanggal 10 Juli 2014. Setelah berlalu selama 6 bulan, akhirnya MA mengabulkan permohonan kasasi dari Alisa itu.
Dalam pertimbangan hukumnya, MA menilai alasan perusahaan yang mem-PHK Alisa karena melakukan efisiensi, bukan karena perusahaan tutup secara permanen melainkan hanya karena ingin mempertahankan usahanya. Terhadap PHK seperti kasus itu, MA berpendapat Putusan PHI Bandung yang hanya menetapkan uang pesangon saja tak sesuai dengan asas kepatutan dan keadilan. Oleh karena itu, MA menetapkan putusan baru dalam kasus PHK itu.
Dalam putusannya Nomor 627 K/Pdt.Sus-PHI/2014 tanggal 21 Januari 2015, MA mengubah Putusan PHI Bandung tersebut dan menetapkan hak-hak Alisa berupa uang pesangon dan upah selama 6 bulan. Setelah ditotal, seluruhnya ternyata berjumlah sebesar Rp 39,9 juta.