Solidaritas.net – Kasus perburuhan yang terjadi di PT Moroco, Desa Candijati, Kecamatan Arjasa, Jember, Jawa Timur, sepertinya berbuntut panjang. Puluhan buruh pabrik penghasil kayu lapis itu yang melakukan aksi demonstrasi untuk menuntut pengurangan jam kerja agar disesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Selasa (24/05/2015), diancam dipecat oleh pihak perusahaan tersebut.
Foto: Yakub Mulyono / Detik.com. |
“Kami juga mendengar informasi bahwa ada anggota kami yang bekerja di PT Moroco diancam dipecat jika menggelar aksi. Jumlahnya sekitar 70 orang,” ungkap Ketua Serikat Buruh Muslim Indonesia (Sarbumusi) Kabupaten Jember, Umar Faruk kepada sejumlah wartawan, seperti dikutip oleh Redaksi Solidaritas.net dari Detik.com, Sabtu (28/05/2016).
Menurutnya, ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) tersebut merupakan salah satu indikasi pelemahan serikat buruh. Oleh karena itu, pihaknya berjanji akan terus mengawal dan melindungan anggota mereka dalam kasus perburuhan tersebut. Ditambahkan oleh Faruq, jumlah buruh PT Moroco sendiri sebanyak 285 orang, dan 207 buruh di antaranya merupakan anggota Sarbumusi Jember yang tergabung dalam Basis Sarbumusi PT Moroco.
Ratusan buruh tersebut selama ini harus bekerja hingga sekitar sembilan jam dalam sehari, karena pihak perusahaan membebankan target produksi yang terlalu tinggi, yakni sebanyak 53 kubik kayu lapis per hari. Padahal, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sudah mengatur secara jelas mengenai jam kerja buruh selama tujuh jam dalam sehari. Menurut perhitungan para buruh, mereka hanya mampu memproduksi sekitar 43 kubik kayu lapis selama tujuh jam kerja. Makanya, mereka pun menggelar unjuk rasa.
Sementara itu, Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jember Akhmad Hariadi pun sudah berjanji akan membantu menyelesaikan masalah hubungan industrial tersebut. Dia mengaku sudah menghubungi pihak perusahaan melalui sambungan telepon, dan meminta para petinggi perusahaan tersebut datang ke Kantor Disnakertrans untuk memusyawarahkan dan menyelesaikan permasalahan itu bersama-sama para buruh.
“Persoalannya, buruh menginginkan tercapainya target. Padahal sesuai dengan undang undang, masa kerja buruh per hari selama tujuh jam. Artinya, memenuhi atau tidak memenuhi target, jika kerja selama tujuh, maka kewajiban buruh terpenuhi,” kata Hariadi.