Catatan Lepas tentang Buruh Outsourcing dan Buruh Kontrak (bagian 4)

0

Ini bahasa manajemen yang juga sering dipakai oleh PUK: “Sekarang ini, tidak seperti dulu, perusahaan sudah menerapkan kewajiban normatif. Karena itu, kini tidak waktunya lagi menyerang atau membabat perusahaan, tapi kita harus membangun bersama ladang hidup kita.” Apakah makna “membangun bersama ladang hidup kita” itu artinya “MEMBABAT BURUH KONTRAK?” Dan apakah perusahan sampai semaju sekarang ini tidak dibangun bersama buruh kontrak atau hanya dibangun oleh buruh tetap? Mengapa hanya buruh kontrak—yang juga turut membangun perusahaan—yang dibabat (digantikan buruh baru)?;

Apakah daya tawar PUK/buruh tetap terhadap manajemen akan semakin menguat bila buruh kontrak yang sekarang (anggota PUK) digantikan buruh baru?

VI.

Makin jelas saja bahwa Undang-Undang Ketenagakerjaan itu tidak bisa sepenuhnya membela buruh—apalagi membela buruh kontrak dan buruh outsourcing; sehingga yang hanya bisa membela buruh sekarang ini adalah NEGOSIASI (PERUNDINGAN) DENGAN TEKANAN MASSA untuk meminta kebijaksanaan kapitalis (pengusaha). Akh, kenapa hidup, pekerjaan dan martabat buruh masih juga tergantung kepada kapitalis (pemilik modal).

VII

Dari Komen Sherr Rinn:

Daya tawarnya semakin lemah. Kawasan-kawasan industri besar seperti Bekasi dan Batam, masih mendingan karena tergolong kawasan besar dengan jumlah buruh yang sangat banyak dan banyak pabrik yang masuk kategori sektor 1 dan 2, sehinga masih mempekerjakan buruh-buruh terlatih dan berstatus tetap. Di daerah luar pulau Jawa yang industri kecil dan masuk kategori sektor pinggiran (pergudangan, agro, dan jasa) mengalami pengorganisasian buruh yang stagnan (mandeg), bahkan kemunduran, karena masalah buruh kontrak tersebut. Pasca UUK 13 tahun 2003, banyak perusahaan yang menyiasati masa kerja buruh dengan sistem kerja kontrak. Buruh kontrak jadi takut melawan karena berstatus kontrak, sementara buruh tetap hanya segelintir (rata-rata tak lebih dari 20 orang) dan tidak berserikat. Serikat-serikat buruh dibuat pusing, karena buruh-buruh hanya mau diadvokasi setelah terjadi PHK. Buruh2 itu tidak peduli jika mereka diupah tidak sesuai UMP, tidak ada Jamsostek dan tunjangan lainnya. Mereka melawan setelah di-PHK karena sudah sama sekali tidak ada harapan upah. Akhirnya, hampir semua kasus yang masuk ke Disnaker dan PHI setempat adalah kasus PHK saja! Kalau buruh sudah di-PHK, maka sulit menjadi anggota serikat—serikat buruh tak mungkin jalan. Kondisi buruh di luar pulau Jawa dan di luar Batam kebanyakan seperti ini.

Jika perusahaan melakukan: teknologisasi (upgrade teknologi terbaru) –> pengurangan jumlah buruh (termasuk buruh tetap) + pergantian buruh kontrak = kemunduran serikat pekerja. Teknologisasi terus-menerus adalah niscaya dalam perkembangan masyarakat. Seharusnya buruh lebih sadar hal ini dengan memperhatikan alat-alat teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang pesat.

Menurutku, saat ini dengan melihat perkembangan serikat buruh, maka pemerintah sedang berusaha mencari jalan kebijakan untuk melemahkan serikat buruh melalui cara-cara menyiasati bagaimana agar buruh bekerja lebih keras dan posisinya dilemahkan sehingga semakin jauh dari serikat. Makanya, buruh outsourcing tidak dihapuskan, walaupun sudah dinyatakan inkonstitusional (melanggar hukum) oleh MK (Mahkamah Konstitusi). Menteri akan mengeluarkan kebijakan pengaturan outsourcing agar terlihat lebih “manusiawi” (kemungkinan besar sebenarnya diperluas, walau syarat-syarat tunjangannya kelihatan lebih baik).

(bersambung)

Catatan Lepas tentang Buruh Outsourcing dan Buruh Kontrak (Bagian 1)
Catatan Lepas tentang Buruh Outsourcing dan Buruh Kontrak (Bagian 2)
Catatan Lepas tentang Buruh Outsourcing dan Buruh Kontrak (Bagian 3)
Catatan Lepas tentang Buruh Outsourcing dan Buruh Kontrak (Bagian 5)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *