Bekasi – Seorang buruh magang di salah satu perusahaan di Kawasan Industri MM 2100 bercerita dirinya tidak memiliki uang dan diusir karena tidak mampu membayar sewa kontrakan, Selasa (14/2/2017).
Komik tentang buruh magang yang terusir (Foto: Rizza) |
Sebut saja namanya Jaja, kepada Solidaritas,net dia menuturkan harus keluar dari kontrakan sekitar 7 Februari 2017. Awalnya dia hanya menumpang, namun rekannya yang menyewa kontrakan memutuskan pindah sebelum masa kontrak berakhir.
Jaja mengaku gelisah karena tidak mempunyai tempat tinggal dan tidak tahu dimana akan tidur. Sempat terpikir olehnya tidur di pabrik atau di masjid, namun urung dilakukan karena tidak ingin mengambil resiko apabila diusir.
“Sempat mikir juga akan nginap di kos teman tetapi kan jaraknya jauh dari pabrik,” tutur Jaja.
Berdasarkan usulan salah seorang pengurus serikat di perusahaan tempatnya bekerja, Jaja kini tinggal di salah satu sekretariat serikat buruh di daerah Cibitung.
Jaja mulai bekerja 17 Januari 2017. Dia dijanjikan menerima gaji setiap tanggal 28, namun pihak yayasan selaku penyalur tenaga kerja mengulur-ulur waktu pembayaran upah hingga awal bulan.
Tidak hanya molor bahkan gajinya dipotong. Dengan gaji Rp.160.000 per hari Jaja hanya hanya menerima Rp.115.600 atau setiap hari dipotong sebesar Rp.44.400 oleh yayasan.
Beredar kabar di lingkungan pabrik ada yayasan penyalur tenaga kerja dipergoki sedang menandatangani surat perjanjian kerja dengan perusahaan. Perjanjian itu berisi besaran upah peserta magang adalah Rp.30.000 per jam atau sama dengan Rp.240.000 per hari dengan lama kerja buruh delapan jam.
Diduga pemotongan upah itu digunakan untuk membayar upah pekerja yayasan. Selain pemotongan upah, tidak ada kejelasan kapan buruh magang diangkat menjadi buruh kontrak. Padahal saat awal masuk kerja, yayasan penyalur menjanjikan dirinya segera diangkat menjadi buruh kontrak.
“Malah pihak perusahaan sendiri yang mengatakan upah magang Rp.30.000 per jam, makanya kabarnya ramai dibincangkan di pabrik,” terang Jaja.
Pemagangan menurut Pasal 1 angka 11 UU Ketenagakerjaan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu.
Faktanya, peserta magang tidak mendapatkan pengawasan dari instruktur atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman. Justru ditempatkan di bagian inti produksi, mengerjakan jenis pekerjaan yang sama dengan buruh tetap namun menerima upah yang lebih rendah bahkan upah lemburnya hanya Rp.10.000 per jam.
Peserta magang dianggap lebih layak menerima uang saku sebagaimana tercantum dalam Pasal 22 ayat (2) UU Ketenagakerjaan. Penentuan besaran uang saku tersebut tidak memiliki dasar yang jelas sehingga penyalur dan perusahaan terkesan memanfaatkan situasi ini untuk memberlakukan upah murah.