Saya mengikuti aksi tolak Omnibus Law pada 8 Oktober 2020 di Jakarta. Saya tiba di Jakarta pada jam 3 sore. Posisi saya saat itu adalah sebagai salah seorang anggota tim kuasa hukum yang bertugas mendampingi massa Federasi Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (F-SEDAR).
Saat saya tiba, situasinya sudah sangat padat dengan demonstran yang berunjuk rasa. Saya berusaha mencari kawan-kawan F-FSEDAR ke area Patung Kuda di depan Indosat. Saat saya mendekat, mata saya menjadi perih karena terpaan angin yang membawa gas air mata. Rupanya, sejak tadi polisi sudah menembakkan gas air mata ke arah demonstran.
Saya berhasil bertemu beberapa anggota F-SEDAR. Lalu, bertemu dengan Fajar, anggota F-SEDAR yang juga buruh Aice yang sedang memperjuangkan kondisi kerja yang lebih baik dan menolak pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak. Mereka menjelaskan bahwa kondisi anggota terpencar-pencar saat berusaha menyelamatkan diri dari tembakan gas air mata aparat.
Kami berusaha mencari rekan-rekan kami di Jalan Budi Kemuliaan yang sesak oleh lautan massa. Suara dentuman tembakan tak putus-putus terdengar. Seringkali kami harus memberi jalan pada motor ambulan atau orang-orang yang menggotong peserta demonstrasi yang terluka. Situasi saat itu hiruk pikuk dan penuh luka.
Tak bertemu rekan, kami kembali ke bundaran Patung Kuda. Saya mendekat ke arah gerbang Monas yang berada di dekat bundaran. Kondisinya sudah menghitam, hangus karena bakaran api. Tidak ada lagi api yang menyala, tetapi terasa oleh saya kemarahan demonstran terhadap polisi, sehingga pos ini menjadi sasaran awal.
Fasilitas umum seperti rambu-rambu lalu lintas juga dirusak. Banyak sampah dan berbagai macam pecahan, yang sepertinya berasal dari sisa-sisa perlawanan aksi. Juga ada berbagai tulisan dari “graffiti action”, termasuk tulisan, maaf, “Jokowi K*nt*l” yang entah ditulis oleh siapa.
Situasi yang semakin represif membuat massa mundur. Saya pun ikut mundur ke arah Jalan Kebon Sirih bersama yang lain. Berusaha mencari lokasi yang aman. Namun, tiba-tiba tiga mobil polisi datang dari arah berlawanan di Jalan Kebon Sirih. Mereka menembakkan gas air mata bertubi-tubi. Semua orang berlarian.
Saya tidak kuat berlari, sehingga saat hampir mendekat perempatan, saya menepi dan bersembunyi di balik sebuah pot besar yang terbuat dari beton. Ada tiga orang lainnya bersama saya. Seorang di antaranya adalah ibu-ibu pedagang air minum. Setelah kami pikir aman, kami keluar dan kembali bergegas ke arah Jalan Kebon Siri yang kini kosong.
Hanya berempat, tetapi polisi menembakkan gas air mata ke arah kami yang sedang bergegas. Saya berlari dan terjatuh dalam proses itu. Lutut saya terluka, memar-memar. Gas air terasa sangat pekat. Wajah dan mata menjadi sangat perih. Pasta gigi tidak terlalu membantu. Kami harus membilas wajah dengan air mineral di tangan dan berlari tanpa terlalu bisa membuka mata.
Dalam proses melarikan diri tadi, ponsel saya dibawa oleh teman yang lari entah ke mana. Setelah cukup aman dan beristirahat, saya kembali ke jalan tadi untuk mencari rekan yang memegang ponsel saya. Saya menggunakannya untuk berkoordinasi dan mendokumentasikan aksi.
Sayangnya, ketika saya kembali, kembali terjadi ricuh. Polisi datang lagi dan mendesak massa melarikan diri masuk ke jalan Kebon Sirih. Saya yang sudah tidak kuat berlari, meminta pertolongan pada satpam gedung terdekat agar dibiarkan masuk. Sedikit memberikan penjelasan, akhirnya saya diizinkan.
Melewati belakang gedung saya dan seorang rekan mencari jalan menuju ke jalan MH. Thamrin. Dalam proses itu, kami melihat gedung Kementerian ESDM dilempari dan kaca-kacanya dirusak. Bersamaan dengan massa yang mundur ke arah Sarinah karena diberondong oleh polisi dengan tembakan gas air mata.
Kami bermaksud ke arahSarinah karena berpikir kawan-kawan kami pasti ada di sana, mengingat banyak orang yang mundur ke titik itu. Benarlah, kami bertemu beberapa kawan dan Fajar yang memegang ponsel saya.
Situasi aksi yang semakin mencekam dan semakin sore, membuat kami mundur ke Bundaran HI. Saat berjalan ke arah Bundaran HI, situasi semakin tidak terkendali. Asap tebal membumbung tinggi, berasal dari ban maupun entah apa lagi yang dibakar.
Saya tidak bisa lagi memperhatikan. Pun saya berteriak agar jangan merusak fasilitas umum, teman di sebelah saya menghalangi. Percuma, kita tidak saling kenal dengan mereka. Tidak ada lagi komando.
Saat tiba di Bundaran HI, api merah menyala dari sebuah halte bus way. Terbakar, entah siapa yang melakukan pembakaran. Banyak orang bersorak dan mengabadikannya dengan ponsel.
Kami mendapatkan kabar, tujuh kawan kami menghilang. Mereka tidak bisa dihubungi. Kabar terakhir, mereka di pos polisi jam 11. “Diamankan”, katanya. Semakin gelap, sebagian besar massa mundur.
Begitupun saya dan rekan mendatangi Polda Metro Jaya untuk menemukan tujuh kawan kami. Mereka ditampung di tempat semacam aula yang dipagari terali. Dua lantai aula itu penuh tahanan.
Polisi tidak mengizinkan kami untuk mencari kawan-kawan kami. Mereka bilang belum mendata. Jadi saya berinisiatif menuliskan nama organisasi kami di kertas putih dan membentangkannya ke arah massa yang ditangkap. Ternyata ketemu dua orang.
Polisi meminta kami agar pulang saja. Tetapi kami menolak, karena kami khawatir mereka dipindahkan dan kami akan kehilangan jejak mereka. Polisi juga melarang memotret dan selalu menyuruh kami pulang. Para tahanan dibelikan makanan yang dibeli dari luar. Kebanyakan mereka sudah tidak ingat lagi untuk memakai masker.
Semakin malam, semakin banyak massa yang ditangkap yang masuk. Mereka disuruh jalan jongkok, banyak terluka. Saya melihat seorang anak muda yang mukanya penuh darah. Kami protes, agar dia dirawat. Dia tarik dan dibawa entah ke mana untuk mendapatkan perawatan.
Kami meminta agar kawan kami dibebaskan malam itu. Alasan kami, rekan-rekan kami ditangkap saat aksinya belum mulai. Tanpa surat penangkapan dan tidak mungkin tertangkap tangan melakukan sesuatu, karena aksinya saja belum dimulai.
Seorang petugas polisi menolak permintaan kami, alasannya, ada keadaan luar biasa di luar sana, sehingga orang-orang ini harus “diamankan” dan perlu diinapkan. Tak ada lagi prosedur sah atau tidaknya penangkapan, yang ada hanya dalih “keadaan luar biasa”.
Sembari menahan dongkol, saya memikirkan pengalaman aksi hari ini. Setiap tahun aksi demi aksi besar, penangkapan demi penangkapan. Buruh tak mampu menolak PP Pengupahan, buruh dan mahasiswa kalah melawan revisi UU KPK dan pemerintah tak peduli dengan demo penolakan Omnibus Law.
Saya juga menghitung aksi-aksi kelompok oposisi, kekuatan Islam konservatif. Di pihak mereka jatuh korban belasan orang saat menolak aksi Pemilu. Bagaimana pun semuanya merupakan lahan subur radikalisasi.
Di media sosial, gagasan-gagasan kerakyatan berhadapan dengan BuzzeRp bayaran dan/atau Buzzer pro penguasa. Di lapangan aksi, massa berhadapan dengan aparat keamanan. Rakyat memang menelan kekalahan demi kekalahan. Tapi rakyat tak pernah kapok.
Ada kekuatan besar yang masih tertidur dan entah bagaimana nanti akan bangkit, dibangunkan oleh tabungan demi tabungan perlawanan.