Cuti Melahirkan 6 Bulan Terbukti Bisa Diterapkan

Solidaritas.net – Lazimnya, setiap perusahaan di Indonesia menerapkan kebijakan cuti melahirkan bagi pekerja perempuan selama total 3 bulan dengan tetap diberikan gaji penuh. Kebijakan ini juga berlaku bagi pegawai di semua instansi pemerintah di Tanah Air, meski diatur dalam peraturan yang berbeda. Bagi pekerja swasta, kebijakan cuti melahirkan selama 3 bulan ini diatur dalam Pasal 82 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

buruh perempuan hamil
Foto ilustrasi: Seorang buruh perempuan yang bekerja di pabrik garmen sedang dalam keadaan hamil. Sumber: Betterwork.org

Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa ‘Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.’ Namun, salah satu perusahaan di Jakarta ini malah menerapkan kebijakan yang berbeda bagi para pekerja mereka yang perempuan, dimana memberikan cuti hamil dan melahirkan yang lebih lama.

Adalah Opal Communications, salah satu perusahaan swasta di bidang kehumasan yang memberlakukan kebijakan tersebut bagi para pekerja mereka yang perempuan. Perusahaan tersebut menerapkan peraturan cuti hamil selama 6 bulan bagi pekerja perempuan yang sedang hamil. Hebatnya lagi, pekerja perempuan yang sedang menjalani cuti melahirkan tersebut ternyata akan tetap mendapatkan gaji penuh seperti biasanya tanpa dipotong sepeser pun.

“Setelah menimbang dan kebetulan di kantor lagi ada yang hamil, kantor kecil saya membuat aturan baru cuti hamil. Total cuti hamil dengan gaji penuh tetap diterima adalah enam bulan,” ujar CEO Opal Communications, Kokok Herdhianto Dirgantoro dalam status Facebook-nya yang bernama sama, seperti dilansir portal Brilio.net, Selasa (14/4/2015).

Kokok merupakan orang di balik gagasan cuti hamil selama 6 bulan tersebut. Untungnya, usulan itu mendapat sambutan baik dari petinggi lain dan bagian keuangan di perusahaan tersebut. Usulannya itu juga langsung diterima semua pekerjanya tanpa ada perdebatan. Selain itu, para pengguna media sosial juga banyak mengomentari statusnya di Facebook dengan sebagian besar bernada positif, karena dianggap sebagai kebijakan yang manusiawi.

“Wah…mantap kali nih. Negara perlu meniru!!! (jadi pengen hamil lagi),” kata Noinsen Rumapea pula memberikan komentar positif pada status Kokok tersebut di Facebook.

Kebijakan ini sendiri diambil Kokok dengan alasan karena mengetahui beratnya masa kehamilan tersebut. Dia pernah mengalami masa-masa sulit ketika istrinya sedang hamil sambil tetap bekerja, beberapa tahun yang lalu. Saat hamil itu, sang istri sangat lemah, sehingga tak bisa bekerja. Sedangkan, pihak pihak perusahaan tempat istrinya bekerja terus meminta sang istri untuk segera masuk dan mengerjakan pekerjannya yang mendesak.

“Dulu tahun 2003 saya menikah. Kala itu saya masih wartawan dan istri juga bekerja. Beberapa bulan kemudian, istri hamil, dan ia mulai mengalami gejala tak enak badan seperti kebanyakan ibu hamil umumnya,” kenang Kokok, dilansir Viva.co.id, Jumat (17/4/2015).

Sejak itu, Kokok pun berjanji, suatu saat nanti jika memiliki sebuah perusahaan, dia akan memberikan masa libur yang lebih panjang bagi pekerjanya yang perempuan. Tahun 2013 lalu, atau 10 tahun kemudian, Kokoh berhasil mendirikan Opal Communications dan dia benar-benar memberikan cuti melahirkan selama 6 bulan tanpa potongan gaji bagi pekerja perempuan.

Kebijakan ini tentunya perlu ditiru oleh perusahaan-perusahaan lainnya, meski pastinya sulit jika bukan dimulai dari kebijakan pemerintah. Contoh negara yang memiliki kebijakan cuti melahirkan selama 6 bulan adalah Venezuela dan Skandinavia. Di Indonesia, kebijakan ini dapat merata di semua perusahaan jika pasal yang mengatur cuti melahirkan yang hanya 3 bulan di dalam UU Ketenagakerjaan direvisi menjadi 6 bulan. Juga penting memastikan peraturan ketenagakerjaan dilaksanakan di tingkat pabrik, karena pelanggaran terhadap UU Ketenagakerjaan marak terjadi. Faktanya, kebanyakan buruh perempuan yang berstatus kontrak justru diberhentikan ketika hamil. Secara tak langsung. buruh perempuan berstatus kontrak dilarang.

Menjelang pasar bebas MEA, persaingan ekonomi cenderung mendorong pemerintah mengurangi proteksi terhadap buruh sehingga revisi terhadap UU Ketenagakerjaan patut diwaspadai agar tidak menjadi lebih merugikan buruh, khususnya buruh perempuan.

Apa yang dilakukan Kokok dan contoh negara yang menerapkan cuti melahirkan 6 bulan membuktikan bahwa kebijakan ini sangat mungkin dilakukan. Kebijakan Opal Communications dalam hubungannya dengan kondisi perusahaan perlu digali lebih lanjut sebagai rujukan baru untuk didorong ke hukum formil. Tak mungkin mengharapkan perusahaan-perusahaan lain menirunya begitu saja karena persaingan usaha di antara mereka justru mendorong kebijakan pengerukan keuntungan yang lebih tinggi dan pengurangan hak-hak buruh.

Tinggalkan Balasan