Solidaritas.net | Jepang – Negara industri Jepang ditopang oleh buruh yang jarang mengambil cuti kerja lantaran beban kerja yang terlalu banyak. Buruh di Jepang memilki waktu cuti per tahunnya 10 hari, namun pada tiap tahunnya mereka hanya mengambil setengah dari cuti tersebut.

Dikutip dari Kompas.com, terlihat saat ini kebutuhan hidup semakin meningkat. Dalam hal itu juga banyak perusahaan memaksa buruhnya bekerja keras, sehingga banyak pula buruh yang umurnya masih muda terpaksa bekerja lembur lebih dari 100 jam kerja per bulannya.
Banyak kasus-kasus buruh yang meninggal dunia karena terlalu bekerja lebih dari yang semestinya, dari yang berusia tua sampai yang muda sama saja mengalami hal itu.
Hal ini membuat Pemerintah Jepang gelisah, sehingga mengeluarkan Undang-undang baru, dimana para buruh/pakerja negara Jepang diharuskan untuk berlibur dan meningkatkan jumlah hari cuti disetiap tahunnya.
Kebijakan baru itu dibuat agar dapat meningkatkan liburan bagi buruh, mencegah waktu kerja yang terlalu banyak, dan memungkinkan para buruh memiliki keseimbangan pekerjaan dalam kehidupan, sehingga dapat mencapai 70 persen waktu libur sampai tahun 2020, atau akan terus mengalami peningkatan hari cuti tiap tahunnya sampai dengan 20 hari.
Berbeda pula dengan Indonesia, belum terdengar wacana dari pemerintah mengenai peningkatan jumlah hari cuti. Undang-undang No. 13 tahun 2003 Pasal 79 ayat (2), menyatakan, seorang pekerja berhak atas cuti tahunan sekurang-kurangnya 12 hari kerja.
Memang, Indonesia memiliki 12 hari cuti pertahun bagi buruh, sedangkan Jepang 10 hari cuti per tahunnya. Tetapi, dengan Undang-undang baru yang di keluarkan pemerintahan Jepang, maka masa hari cuti mereka akan lebih meningkat menjadi jauh lebih banyak dibandingkan dengan lama cuti pekerja di Indonesia.
Bahkan, di Jepang dikenal pula cuti patah hati (heartache leave) yang lamanya 1-3 hari kerja per tahun.
Dalam hal ini terlihat jelas akan adanya perbedaan antara kondisi pekerja negara maju dengan negara berkembang seperti Indonesia.
