Pada awalnya adalah solidaritas, yang bukan sekadar memberi bantuan kepada pihak lain, tetapi berbagi resiko yang sama. Hal ini dikemukakan oleh James Petras (2019) yang melihat solidaritas sebagai berbagi resiko gerakan, tidak menjadi komentator yang hanya mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan tidak membela sesuatu apapun. [1]
Berangkat dari pengertian ini, sangat penting untuk membangun solidaritas agar rekan-rekan seperjuangan kita tidak merasa sendirian saat mereka mengalami kesulitan. Apalagi jika kesulitan tersebut adalah resiko yang ditanggung akibat dari berjuang. Solidaritas ini bukan sebuah amal, melainkan upaya menanggung resiko bersama. Menggalang solidaritas di dalam gerakan itu sendiri adalah bersifat primer, daripada mengandalkan bantuan dari luar diri kita.
Pada suatu waktu buruh SEDAR [2] menggalang dana untuk membantu membiayai kehidupan aktivis mahasiswa yang berada di dalam penjara. Setiap buruh anggota menyumbangkan Rp2.000 setiap bulan untuk program ini. Dengan dana ini, mengirim uang bulanan ke penjara menjadi mungkin dan juga membiayai perjalanan untuk mengadakan kunjungan ke Lapas. Di penjara dana ini digunakan untuk menyewa kamar dan membeli makanan.
Inisiatif ini berkembang menjadi lebih definitif yang disebut sebagai “Gerakan 5 Ribu”. Setiap bulannya buruh menggalang dana Rp5.000 per bulan untuk dapur umum. Jumlah yang terkumpul tidak tentu, apalagi dalam kondisi PHK massal, maka anggota yang terkena PHK tidak dikenakan. Sebetulnya, dana ini sangat kecil untuk membiayai kebutuhan korban PHK yang besar, sehingga harus digunakan sebaik-baiknya.
Maka, dipilihlah pembiayaan terhadap kebutuhan yang paling dasar bagi seorang manusia untuk bertahan hidup, yakni makanan. FSEDAR membuka Dapur Umum untuk anggotanya di tempat yang disebut sebagai Aula Bersama. Di Dapur Umum ini, serikat buruh menyediakan bahan makanan pokok. Setiap orang boleh datang dan memasak secara kolektif.
Dapur para pemogok
Ketika terjadi sebuah pemogokan di basis, maka dapur ini sangat berguna untuk memberi makan kepada buruh pemogok yang berada di wilayah Cikarang. Pengalaman ini dirasakan penting ketika terjadinya pemogokan buruh PT. HRS Indonesia selama dua setengah bulan yang dimulai pada 11 November 2019 [3] dan berakhir pada 3 Februari 2020.[4]
Pada minggu kedua, buruh HRS mulai berpikir bahwa pemogokan ini akan memakan waktu yang panjang sehingga perlu dilakukan penghematan. Buruh tidak lagi membeli makanan di warung seperti sebelumnya, tetapi membangun dapur pemogokan. Setiap orang diminta untuk memberikan iuran Rp5 ribu per hari untuk uang konsumsi secara sukarela.
“Penarikan dilakukan setiap hari dan tidak dipaksakan. Tidak memberi tidak apa-apa, asalkan hadir dalam pemogokan. Pada awalnya berjalan lancar, namun iuran tidak jalan 100 persen,” kata Mulyono, seorang buruh HRS.
Hasil iuran ini digunakan untuk membeli bahan-bahan makanan di pasar tradisional atau memesan pada orang yang dikenal. Bahan-bahan tersebut diolah untuk membuat makanan bagi 115 buruh pemogok setiap harinya.
Menu yang dibuat sangat sederhana, seperti capcay, orek, tahu, ikan, tempe dan telur yang dicampur dengan tepung. Tujuannya agar murah dan praktis. Lalu, makanan ini dibungkus dengan kertas pembungkus makanan dan dibagikan kepada buruh pemogok yang berada di depan tenda perjuangan (picket line) di depan pabrik.
Kebutuhan beras dan minyak untuk konsumsi buruh HRS dipasok oleh dana Gerakan 5 Ribu. Jika dana konsumsi buruh HRS ada sisa, mereka menggunakannya untuk kebutuhan advokasi dan kebutuhan darurat, seperti membantu kawan yang sakit.
Setiap bulan, Gerakan 5 Ribu mengadakan beras, minyak dan sembako. Lama-kelamaan, pengadaan bahan-bahan makanan dilakukan dengan memesan pada buruh anggota sendiri, khususnya buruh korban PHK, sehingga perputaran uang diusahakan di antara anggota. Dalam sebulan, dana yang dihabiskan untuk keperluan Dapur Umum berkisar tiga sampai empat juta rupiah.
Ketika buruh Aice melakukan pemogokan yang dimulai pada 21 Februari 2020, Dapur Umum kembali tampil dengan konsep memasak kolektif. Dapur ini menyediakan konsumsi untuk sekitar 500 orang pemogok setiap harinya selama kurang lebih dua bulan. Kondisi pemogokan semakin diperparah dengan datangnya pandemi Covid-19, sehingga keberadaan Dapur Umum semakin dibutuhkan. Selama pemogokan, Dapur Umum menggelontorkan dana sekitar Rp40 juta untuk pengadaan bahan makanan untuk buruh Aice. Dana ini didapatkan dari iuran bersama ditambah dengan kas federasi.
Selain memasak makanan secara kolektif, korban PHK juga dapat membawa pulang sembako, seperti beras dan minyak goreng, untuk keluarga di rumah. Dapur Umum juga memiliki pengadaan susu anak dengan merek tertentu untuk anak-anak buruh yang membutuhkan. Upaya ini masih terbatas karena kekurangan dana, sehingga terkadang juga dibuka donasi.
Aula Bersama juga berfungsi sebagai tempat berlindung (shelter) yang menampung buruh korban PHK yang tidak mampu lagi membayar kontrakan rumah. Misalnya buruh outsourcing Aice dan buruh gudang FamilyMart yang ditampung selama berjalannya pengadvokasian kasus. Di sini mereka bisa tinggal dan makan dengan gratis. Meskipun, masih banyak yang harus dibenahi, misalnya belum ada ruangan kamar, sehingga penghuninya harus tidur berjejal, serta fasilitas yang masih minim dan beberapa yang rusak akibat cuaca.
Menghargai kaum perempuan
Masyarakat kita membesarkan anggotanya berdasarkan peranan gender yang mendomestifikasi kaum perempuan sehingga perempuan cenderung lebih terampil dalam urusan dapur daripada laki-laki. Dalam hal memasak, laki-laki sebenarnya sama terampilnya dengan perempuan. Hal ini terbukti sehari-harinya yang memasak di dapur umum kebanyakan adalah buruh laki-laki dengan kapasitas masakan yang sedikit. Namun, dalam kondisi pengadaan makanan dalam jumlah besar, seperti dalam sebuah pemogokan, kaum perempuan mengambil peranan besar dalam pengadaan makanan.
Harus diakui bahwa perempuan memiliki pengetahuan yang lebih baik dan bisa diandalkan dalam pengadaan makanan dalam jumlah besar. Perempuan terampil dalam memasak, mengorganisir dapur, memilih bahan makanan sampai menawar harga di pasar agar lebih murah. Peranan perempuan sangatlah penting dan sangat terasa, yang kurang adalah rasa penghargaan terhadap kerja-kerja domestik tersebut.
Padahal kerja-kerja kaum perempuan inilah yang mampu menurunkan biaya pengadaan makanan. Tenaga mereka berkontribusi mengurangi pengeluaran di kala pemogokan, sehingga seharusnya hal itu dicatat dan menjadi dasar bagi penghargaan yang lebih tinggi. Tetapi masyarakat patriarkis terbiasa dengan pekerjaan domestik sebagai kerja yang tidak dibayar dan tidak boleh dikonversi menjadi nilai tukar terhadap komoditi. Ini juga menjadi alasan mengapa upah pekerja rumah tangga cenderung rendah karena dianggap bukan sebagai “pekerjaan bernilai”.
Oleh karena itu, Dapur Umum yang dibangun oleh SEDAR berusaha mempropagandakan pentingnya peranan perempuan dan melibatkan laki-laki dalam kerja-kerja di dapur. Biasanya, perwakilan buruh laki-laki diharuskan ikut membantu pekerjaan perempuan di dapur dan pada malam hari buruh laki-laki yang sepenuhnya ditugaskan untuk memasak makanan. Tetapi lagi-lagi hal ini lebih banyak disadari karena mengingat kondisi yang berbahaya bagi perempuan untuk keluar malam, bukan sebagai upaya mengusahakan pembagian kerja yang tidak bias gender.
Walau begitu, basis bagi penghargaan yang lebih tinggi bagi kaum perempuan lebih mungkin dijelaskan dalam aktivitas pengadaan makanan secara kolektif. Mengapa? Karena dalam kondisi ini, perempuan tidak melakukannya dalam rangka melayani, melainkan berpartisipasi bagi kesuksesan perjuangan. Itulah mengapa perempuan juga didorong juga untuk mengambil peran-peran strategis, seperti masuk menjadi anggota tim perunding (negosiator) di divisi advokasi, yang tidak mudah karena banyaknya hambatan patriarkal terhadap diri mereka.
Solidaritas di kala krisis
Banyak buruh yang bekerja di daerah Cikarang berasal dari luar kota, seperti kota dan kabupaten di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka menjadi penyewa kamar-kamar kontrakan yang berada di sekitaran kawasan industri. Ketika mereka kehilangan pekerjaan, kebanyakan mereka tidak mampu menyewa tempat tinggal, apalagi status mereka pada umumnya hanyalah pegawai tidak tetap di perusahaan. Mereka keluar dari pekerjaan tanpa kompensasi dan tidak memiliki tabungan. Selama bekerja, nyaris tidak mungkin menabung karena mereka harus membayar utang cicilan kendaraan, biaya calo tenaga kerja dan mengirim uang ke kampung halaman.
Tak bisa disangkal lagi pandemi telah menghempaskan kehidupan buruh ke jurang kemiskinan. Banyak terjadi PHK dengan alasan pandemi Covid-19. Hal ini pertama sekali menimpa buruh-buruh berstatus tidak tetap, seperti buruh kontrak, yang tidak diperpanjang masa kontrak kerjanya. Lalu menyerang buruh-buruh yang berstatus sebagai karyawan tetap. Sebelum pandemi, buruh sendiri telah ditempa banyak krisis yang lebih kecil dalam hidupnya, misalnya harus bertahan di bawah ketidakpastian kerja dan saat menjadi korban PHK yang merupakan rutinitas penggantian pekerja (turn over).
Pandemi Covid-19 adalah momen yang semakin menyadarkan betapa pentingnya solidaritas dalam kebutuhan primer, yakni pengadaan pangan. Pandemi menunjukkan pada kita sebuah krisis nyata yang mengancam keselamatan kelas pekerja. Kelas pekerja tidak saja diperhadapkan pada ancaman kehilangan pekerjaan, tetapi juga ancaman kesehatan dan keselamatannya. Krisis berubah menjadi potensi penyadaran semakin dibutuhkannya solidaritas dan kekuatan kolektif.
Dapur Umum adalah salah satu wujud solidaritas yang nyata yang memberi “obat sementara” bagi perut yang lapar. Juga merupakan bukti bahwa solidaritas di antara sesama kelas tertindas lebih nyata dan dapat dirasakan langsung daripada sekadar menunggu “negara hadir”. Negara sesungguhnya telah hadir dalam (kebanyakan) pengabaiannya dan penelantarannya terhadap rakyat dan kelas pekerja. Bahkan seharusnya negara ini dikelola oleh para kelas pekerja yang telah terampil dalam praktik-praktik pengorganisasian diri sendiri.
Pengorganisasian Dapur Umum ini dapat berfungsi sebagai wadah latihan mengorganisir diri kelas pekerja untuk selanjutnya dapat membangun dapur-dapur komunitas di masa depan. Karena, Dapur Umum sebenarnya jauh lebih efisien jika dikembangkan dalam komunitas. Coba bayangkan sisa sampah dapur individual keluarga inti. Jika pengadaan makanan disatukan dalam upaya komunitas, maka sampah makanan yang dihasilkan bisa lebih sedikit. Energi yang terbuang juga bisa lebih minimal dengan sistem memasak bergilir di mana setiap anggota komunitas mendapatkan giliran kerja setiap minggu.
Itulah mengapa inisiatif ini harus dimajukan lebih jauh dan diorganisir sedemikian rupa sehingga dapat diakses oleh lebih banyak buruh dan rakyat. Setiap komunitas dapat mereplikasi konsep ini dalam semangat kolektivitas yang diusahakan secara bersama, bukan merupakan lembaga jasa. Apalagi dalam kondisi pandemi, para penganggur dan rakyat setengah pengangguran yang sebelum pandemi tentu semakin mengalami kesulitan.
Yang perlu didorong maju adalah manajemen-diri (self-management) Dapur Umum agar menjadi semakin terampil dalam menjalankan fungsi dan tugasnya. Pengetahuan dan praktik pengadaan nutrisi yang tepat adalah penting. Bahkan lebih jauh lagi, kita dapat mengusahakan produksi pangan sendiri, misalnya dengan membangun pertanian kolektif dan peternakan sendiri. Meskipun, pastinya hal ini masih sebatas sebuah proyek percontohan pada awalnya.
Sebuah serikat sangat mungkin untuk mengorganisir pertanian dan peternakan sebagai sebuah proyek percontohan. Proyek ini dapat dikelola oleh buruh-buruh yang menjadi korban PHK. Tidak perlu berpikir terlalu jauh untuk menjual dan menghasilkan keuntungan dari upaya ini. Dapat memberi makan anggota komunitas kita dan menginspirasi komunitas lain untuk melakukan hal yang sama, adalah sebuah capaian besar. Konsepnya dapat berupa urban farming atau pertanian kolektif di pinggiran kota industri.
Sejak 2015, SEDAR sudah memiliki inisiatif semacam ini, misalnya membangun pertanian hidroponik di sekretariat, namun tidak berkelanjutan karena berbagai persoalan. Kurangnya tenaga penggerak, kantor serikat yang belum definitif dan prioritas pengerjaan pada advokasi kasus, menjadi sebab-sebab utama. Memang SEDAR adalah serikat yang baru berdiri lima tahun terakhir. Masih sangat muda dan membutuhkan waktu lebih panjang untuk melipatgandakan sumber dayanya.
Sekarang, SEDAR kembali memulai inisiatif untuk mengembangkan pertanian kolektif itu secara perlahan. Membuat perencanaan, menguasai pengetahuan pertanian yang cukup, berlatih mengembangkannya, membuat manajemen kerjanya dan mengerjakannya efisien, serta bagaimana mengombinasikannya dengan pekerjaan-pekerjaan yang sudah ada, adalah berbagai pertanyaan yang harus dijawab. Sebab, di masa depan penyediaan pangan sendiri, khususnya pertanian dan peternakan, akan sangat membantu dalam masa-masa krisis yang pasti tiba, entah karena krisis ekonomi maupun krisis politik. Hal ini juga sangat membantu kelas pekerja untuk mendekatkan kesadarannya dengan perjuangan ekologis.
Yang penting harus diingat adalah bahwa upaya ekonomis ini harus tetap dijalankan bersama-sama dengan perjuangan kelas buruh dalam mengubah kondisi masyarakat secara politik. Tidak bisa tidak, kesejahteraan buruh dan rakyat yang sejati tidak mungkin bisa dicapai tanpa kemenangan dalam perjuangan politik. Di beberapa negeri yang sudah jauh berkembang secara politik, seperti negeri-negeri Amerika Latin dan Kuba, capaian perjuangan politik mereka berusaha digagalkan oleh kekuatan-kekuatan imperialis yang mengambil taktik embargo, sehingga terjadi krisisi akibat sabotase di mana rakyat kesulitan mendapatkan barang-barang kebutuhan. Mungkin saja, keterampilan gerakan dalam pengadaan pangan secara mandiri akan mampu juga menyelamatkan perut kita dari kelaparan dalam kondisi-kondisi politik semacam itu.
(Penulis adalah juru bicara Federasi Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan)
***
Catatan Kaki:
- Petras, James. 1999. NGOs: In the service of imperialism. Diakses dari http://www.observatorioeducacion.org/sites/default/files/ngos-and-imperialism.pdf pada 13 Desember 2020;
- Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan, lihat website di https://fsedar.org/;
- Sarinah. “Seratusan Buruh PT HRS Indonesia Akan Mogok Kerja”. Solidaritas.net, 8 November 2020, diakses dari https://solidaritas.net/seratusan-buruh-pt-hrs-indonesia-akan-mogok-kerja/ pada 13 Desember 2020;
- Sarinah. “Akhirnya Buruh PT HRS Indonesia Bekerja Kembali”. Solidaritas.net, 11 Februari 2020, diakses dari https://solidaritas.net/akhirnya-buruh-pt-hrs-indonesia-bekerja-kembali/ pada 13 Desember 2020.